Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PANDEMI dan perlambatan ekonomi merupakan keniscayaan yang tak terpisahkan. Kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat selama pandemi Covid-19 secara nyata telah berimplikasi kuat terhadap laju penurunan ekonomi secara nasional sehingga hal ini berpengaruh terhadap capaian penerimaan pajak negara dari tahun 2020 sampai periode triwulan I tahun 2021. Merujuk data Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), penerimaan neto jenis pajak mayoritas mengalami kontraksi yang sangat dalam.
Di tengah perlambatan ekonomi,realisasi penerimaan pajak hingga akhir Maret 2021 tercatat masih terkontraksi hingga 5,6% (yoy). Realisasi penerimaan pajak pada kuartal I - 2021 baru mencapai Rp 228,1 triliun atau 18,6% dari target pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 1.229,6 triliun. (Kemenkeu RI, 2021). Saat penerimaan pajak masih tertekan selama pandemi, efektivitas anggaran belanja negara telah mencapai Rp 523 triliun. Hal ini menyebabkan kas negara mengalami defisit cukup dalam yakni Rp 144 triliun, salah satunya berasal pembiayaan utang untuk menopang belanja konsumsi masyarakat. Meski beban belanja kini lebih besar daripada penerimaan, pemerintah sepertinya yakin jika defisit anggaran yang terjadi masih mampu mendukung terjadinya akselerasi pemulihan ekonomi nasional pada 2021.
Berada dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, efektivitas kebijakan merupakan kunci keberhasilan pemulihan ekonomi. Keberhasilan pemerintah dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional belumlah cukup bila hanya memberikan stimulus ekonomi makro yang mendorong peningkatan konsumsi belanja masyarakat. Pemerintah perlu cermat membuat kebijakan taktis jangka panjang yang benar-benar bermanfaat bagi ruang stimulus ekonomi masyarakat secara nasional.
Saat upaya pemulihan ekonomi akibat tekanan wabah pandemi Covid-19 kian sulit diprediksi, kepatuhan publik terhadap kebijakan protokol kesehatan (Prokes) tetap saja memprihatinkan. Semua pihak pun sekarang ini mulai waswas, terhadap potensi terjadinya lonjakan kasus baru akibat mobilitas masyarakat yang ingin segera melakukan urbanisasi dan peningkatan aktivitas ekonomi pasca perayaan Idulfitri. Kecemasan itu adalah wajar. Apalagi, sejak April 2021 yang lalu terus terjadi kencenderungan peningkatan kasus baru dibanyak kota besar di Indonesia.
Pengendalian Terpadu
Publik Indonesia tentu berharap jika pengalaman buruk seperti yang terjadi di India tidak terjadi di dalam negeri. Namun, perkembangan pandemi Covid-19 pasca periode libur Idulfitri 2021 jelas bukan hal yang sepele dan perlu terus diwaspadai. Indikatornya terlihat dari beberapa temuan. Tingkat kepatuhan memakai masker 61%-75% terdapat 58 daerah atau 16,16% dari total Kabupaten/Kota. Sedangkan 125 daerah lainnya memiliki kepatuhan memakai masker 76%-90%. Tingkat kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan juga rendah karena berada dalam kisaran 60%. Hal ini jelas merupakan ironi bagi sebuah skematis besar penyelesaian wabah pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Mengantisipasi Tekanan Inflasi di Kota Medan
Ketidakpatuhan publik pada prokes menjadi salahsatu faktor pemicu gelombang kedua Covid-19. Beberapa faktor lainnya seperti tingkat vaksinasi yang rendah menjadi tak efektifnya pengendalian Covid-19 terhadap upaya sistematis dalam memulihkan ekonomi secepatnya. Secara regulatif, pemerintah telah melakukan langkah antisipatif. Diterbitkan dan diberlakukannya sejumlah kebijakan untuk menekan laju penularan Covid-19 dalam negeri. Seperti Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) faktanya tak terlalu berdampak positif bagi peningkatan kepatuhan terhadap prokes Covid-19.
Padahal, kepatuhan Prokes jelas menjadi ujian utama bagi lolos tidaknya Indonesia dari gelombang kedua pandemi Covid-19 dan tekanan krisis resesi ekonomi yang lebih dalam. Untuk dapat menekan penularan Covid-19, pemerintah pun telah menetapkan adanya larangan mudik Lebaran 2021, yang dituangkan melalui Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Namun, kepatuhan publik terhadap larangan mudik ini lagi-lagi sangat rendah. Alih-alih taat aturan, banyak pemudik yang justru bersiasat agar tetap bisa pulang ke kampung halaman sehingga memunculkan terjadinya kelonjakan besar saat arus balik ke kota.
Walaupun realisasi vaksinasi masih jauh dari target. Namun, tingkat kepatuhan publik terhadap Prokes terbilang masih rendah dan program vaksinasi Covid-19 ini pun masih jauh dari target. Kedua faktor ini sangat berpotensi dapat menjadi pemicu lonjakan kasus baru pandemi Covid-19. Atas dasar itulah, pemerintah perlu untuk terus melakukan kebijakan pengendalian Covid-19.
Langkah Taktis
Melihat tingginya kasus Covid-19 yang terjadi di Pulau Sumatera dalam satu bulan terakhir, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi pada Minggu (16/5/2021) telah mewajibkan masyarakat yang akan kembali ke Jakarta pada masa larangan mudik ini untuk menjalani kewajiban melakukan tes rapid antigen. Untuk mengantisipasi arus balik pada masa larangan mudik Lebaran, dan terjadinya penumpukan kerumunan di Pelabuhan Bakauheni, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi meminta kepada seluruh masayarakat untuk melakukan tes rapid antigen mandiri di daerah asal keberangkatan. Begitu juga bagi penumpang ada kewajiban untuk dapat membawa semua hasil negatif tes tersebut sebelum keberangkatan
Selama masa Lebaran, Sumatera mengalami kenaikan signifikan dalam kontribusi kasus nasional Covid-19 sampai 27,22 persen, sementara Pulau Jawa turun 11,06 persen pada Mei 2021. Demikian pada angka kematian, Pulau Jawa turun 16,07 persen dan Pulau Sumatera naik menjadi 17,18 persen.Jika melihat data, selama larangan mudik, ada kenaikan eskalasi di hampir seluruh provinsi di Sumatera. Karena itu, Satgas Covid-19 telah meminta kepada seluruh gubernur mengambil langkah efektif dalam mencegah penularan Covid-19.
Dalam mengantisipasi Covid-19 selama libur Lebaran, Satgas Penanganan Covid-19 pun secara tegas mengeluarkan surat No.46/05/Tahun 2021 tentang Antisipasi Perjalanan Masyarakat pada Arus Balik Idul Fitri 2021. Dalam surat tersebut pemerintah, khususnya yang berada di Pulau Sumatera, diharuskan lebih teliti dan cermat memeriksa dokumem perjalanan yang telah diatur sesuai Surat Edaran No.13 Tahun 2021 tentang bebas Covid-19. Mulai dari hasil tes PCR, Swab Antigen, atau GeNose pada setiap pelaku perjalanan di masa arus balik.
Menyikapi hal ini, pemerintah pasca libur Lebaran memang harus berkonsentrasi dalam pembenahan hulu dan hilir penyelesaian kasus Covid-19. Tingginya angka penularan Covid-19 di Indonesia sejatinya tak lepas dari ragam persoalan yang terjadi di wilayah hulu. Problematika wilayah hulu ini, dapat dilihat dari minimnya pembangunan fasilitas kesehatan seperti halnya Puskesmas dan Rumah Sakit terpadu. Upaya perbaikan di wilayah hulu ini jelas menjadi hal yang perlu diperhatikan secara serius karena merupakan tanggung jawab bagi semua komponen negara yang memiliki mandat konstitusi melindungi segenap warga negara.
Pada pembenahan aspek hilir, pemerintah perlu memastikan efektivitas vaksinasi dan keamanan vaksin. Seperti yang terjadi baru – baru ini terhadap Trio Fauqi Virfaus, pria yang meninggal dunia sehari usai disuntik vaksin AstraZaneca di Jakarta Timur pada Rabu (5/5/2021). Peristiwa ini jelas menjadi catatan bagi penyediaan vaksin Covid-19 yang aman bagi masyarakat. Apalagi, vaksin AstraZaneca ini telah ditangguhkan sementara di Eropa lantaran diduga mengakibatkan efek samping penggumpalan darah. Jika terbukti vaksin AstraZeneca ini berakibat fatal dan sangat membahayakan masyarakat, maka pemerintah harus benar – benar menghentikan pemakaian vaksin tersebut. Disinilah, peran pemerintah yang perlu mengutamakan sikap profesionalisme dalam rangka pembenahan aspek hilir pengendalian vaksinasi Covid-19. Selama ada komitmen terpadu dari penanganan hulu dan hilir penyelesaian masalah pandemi Covid-19 maka kesadaran pemulihan ekonomi sejatinya juga dapat segera pulih dan bangkit secara utuh.
====
Penulis Analis dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]