Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bapak ilmu pengetahuan klasik Aristoteles, memiliki seorang guru yang sangat mempengaruhi tulisan-tulisannya. Yah, ia bernama Plato si bijaksana. Plato yang lahir dari keturunan raja terakhir di Athena juga memiliki guru yang mengajarkan akan arti dari kebijaksanaan yang seutuhnya. Namanya adalah Socrates, sang lalat pengganggu, yang diberi julukan legenda sekaligus bapak filsafat barat.
Socrates bukan merupakan sosok yang lahir dari keluarga kaya. Sebaliknya, Socrates hanya seorang mantan tentara perang. Namun, pengaruhnya di dalam konsep filsafat Yunani kuno begitu kuat. Tak ada sehelai lembar guratan tulisan yang keluar dari tangan hangatnya. Sebaliknya, seluruh kisah hidupnya diketahui dari tulisan yang ditulis oleh muridnya Plato dan Xenophon.
Selalu Mulai dengan Bertanya
Socrates dikenal dengan runtutan pertanyaan yang sering dilontarkannya. Apabila Socrates ingin mengetahui suatu hal, atau hanya sekadar untuk menguji lawan bicaranya, ia akan selalu menjadi lawan bicara yang memulai pertanyaan di dalam sesi diskusi terbuka. Socrates tidak peduli, apakah lawan bicaranya dari kalangan kelas borjuis atau marjinal.
Socrates akan senantiasa bertanya kepada siapapun yang akan dijumpainya. Hal ini, dikarenakan ia ingin benar-benar mengerti, tentang informasi serta suatu makna dalam setiap kalimat. Tak perduli, menghabiskan waktu seharian penuh untuk menanyai lawan bicaranya. Socrates akan sangat senang melakukan tindakan tersebut. Inilah yang menjadikan Socrates begitu dibenci istrinya.
Di era globalisasi saat ini, arus pertukaran informasi begitu derasnya. Dalam suatu waktu, sangat sulit untuk membedakan antara sebuah informasi otentik dengan informasi anorganik atau yang sering kita sebut dengan ‘hoax’. Munculnya situs-situs berita abal-abal pun menambah runyam keotentikan suatu fakta yang organik. Bahkan siaran berita televisi pun terbagi antara media arus utama dan media oposisi. Bahkan tak jarang, beberapa media bahkan mencoba untuk menggiring opini publik agar sesuai dengan perkiraan media-media tersebut.
Jikalau Socrates hidup di zaman ini, is pasti akan mencari data serta informasi yang faktual. Mungkin, Socrates akan bertanya kepada ibu-ibu yang sedang belanja di pasar, orang yang sedang sibuk jualan, atau mungkin juga para pejabat-pejabat daerah yang sedang memantau sirkulasi transaksi di pasar.
Sekalipun data tersebut berada di internet dengan berbagai macam akses yang sangat sulit, penulis yakin Socrates akan memutar otak di dalam kepala bundarnya untuk menggali informasi tersebut sampai ke akar-akarnya. Mungkin juga, Socrates akan mengemis atau meminta penjaga warnet untuk membiarkanya sejenak searching jurnal internasional di warnet tedekat, dengan ngemil snack kelapa ditambah segelas kopi panas, wkwk. Mungkin tidak sampai sejauh itulah ya.
BACA JUGA: Masa Depan Investasi di Indonesia
Tetapi intinya adalah, Socrates akan mencari commen sense dari setiap informasi yang didapatinya; tak peduli dimanapun, kapanpun dan siapapun tak akan lepas dari tamparan pertanyaannya. Socrates akan terus menggali informasi, kemudian mengolahnya untuk dijadikan bahan renungan. Lantas menghasilkan sebuah makna moral, sebagai mana ia dikenal sebagai filsuf pencetus pesan tersebut.
Socrates tentu tak akan dengan mudahnya percaya dengan iming-iming informasi yang tidak akurat. Tentu Socrates tidak akan menghianati nilai moralnya. Ketika Socrates tahu bahwa telah terjadi sebuah hal yang keliru. Disitulah Socrates memulai petualangannya di dalam menguji setiap orang yang merasa lebih pintar dari yang lain. Jika diandaikan saat ini, mungkin Socrates adalah seorang perwakilan para petani kecil dalam sesi dengar pendapat dengan dewan perwakilan rakyat, di dalam pemantauan distribusi pupuk.
Aturan Berkomunikasi Dasar ala Socrates
Socrates selalu mengajarkan tiga hal penting kepada para muridnya di dalam berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dalam menyelesaikan masalah sekalipun. Yang pertama, adalah selalu berpura-pura untuk tidak tahu—penting menurutnya untuk menjalankan hal dasar ini. Alasannya utamanya adalah lawan bicara akan merasa nyaman apabila sesuatu yang ia ketahui berguna bagi orang lain.
Sialnya saat ini, komunikasi selalu terkendala karena pihak yang saling berkomunikasi selalu ingin didengarkan. Tak ada yang mau mengalah, atau setidaknya mendengarkan sejenak alasan, mengapa pihak lawan komunikasi memikirkan hal itu. Inilah yang disebutkan oleh Socrates sebagai sebab akibat.
Tentu ada alasan tertentu yang membuat seseorang memiliki argumen yang berbeda. Mungkin saat Socrates yang menjadi lawan bicara di era saat ini, Socrates akan senantiasa mendengarkan sampai mulut lawan bicaranya berbuih sekalipun, sambil makan biskuit kelapa ditambah segelas kopi panas, haha, mungkin lo yah. Namun dalam kebanyakan kasus, Socrates dapat mematahkan argumentasi lawan bicaranya dengan sangat cepat.
Aturan yang kedua adalah ironi, atau bahasa kerennya menyanjung pendapat lawan bicara. Mungkin terdengar konyol bagi sebagian orang, atau mungkin sangat tidak masuk akal. Namun, disinilah kunci dari cara berkomunikasi yang dipegang teguh Socrates. Menyanjung pendapat lawan bicara berarti membuat lawan bicara semakin confidence (percaya diri). Semakin confidence seseorang didalam argumentasinya, maka akan terlihat jelas dimana titik-titk kelemahan argumennya. Disinilah tahap terakhir memainkan perannya.
Aturan yang ketiga, sekaligus yang terakhir adalah konfutasi atau elenchus (menyela pembicaraan lawan bicara). Eits, tunggu dulu. Konotasi dari konfutasi tidaklah selalu bermakna negatif. Sebaliknya hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki dari inkonsistensi argumentasi lawan bicara. Konfutasi inilah yang membuat Socrates dicintai oleh para muridnya.
Sehingga lahirlah si bijaksana Plato, kemudian Plato melahirkan lagi sang bapak ilmu pengetahuan Aristoteles. Konfutasi mengajak lawan bicara untuk mereboisasi ulang pemaknaan majemuk dari argumentasinya. Sehingga hadirlah sebuah argumen yang benar-benar memiliki landasan teoritis tanpa menghilangkan kesan moralnya.
Penutup
Socrates mengajarkan kepada kita tentang bagaimana tindakan yang harus kita lakukan didalam berkomunikasi. Penting untuk menghargai lawan bicara. Namun perlu diingat. Substansi dari komunikasi tersebut juga tidak boleh dilupakan. Sebagaimana dialog yang baik, haruslah dapat di uji eksistensinya, sehingga akan menghasilkan pesan moral yang bermakna, atau setidaknya sebuah masalah dapat diselesaikan.
Di era industri 4.0 ini, kita tidak hanya dituntut untuk dapat memiliki kemampuan yang mumpuni saja. Pun begitu dengan sopan santun didalam berkomunikasi dengan sesama manusia. Saat ini, komunikasi tidak hanya bertemu secara fisik belaka. Kini telah berpindah ke sistem online (maya), bahkan mungkin lebih banyak waktu berkomunikasi saat online, terlebih pandemi covid-19 yang memaksa sebagian dari kita untuk bekerja dan belajar dari rumah.
Tak ada bedanya berkomunikasi secara fisik dan virtual. Sama-sama harus memiliki etika yang sama. Akan tetapi sekali lagi, perlu untuk menghargai lawan bicara, termasuk untuk memberikan tempat dalam penempatan argumentasinya. Agar anda serta lawan bicara dapat menemukan struktur horizontal dari permasalahan yang anda hadapi. Selamat mencoba!
====
Penulis Mahasiswa Ilmu Politik FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]