Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pandemi Covid-19 yang entah sampai kapan akan berakhir tentulah membutuhkan kesabaran dan ketenangan dalam menghadapinya. Termasuk menciptakan ketenangan di media sosial, terutama sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah di Indonesia. Meski tidak semua daerah di Indonesia menerapkan PPKM akan tetapi saat ini diperlukan kerja sama antar pihak untuk dapat meredam pandemi Covid-19 secepat mungkin. Tapi faktanya, justru di tengah pandemi Covid-19 kegaduhan di media sosial tetap saja terjadi. Bahkan, kegaduhan ini kian bertambah parah dengan balutan nuansa politik.
Hal itu dapat dilacak dari postingan warganet yang berasal dari barisan pendukung pemerintah yang selalu menyalahkan barisan oposisi. Begitu pula sebaliknya, barisan oposisi yang bukannya memberikan kritikan yang argumentatif, tapi justru malah memperkuat konten yang berbau ujaran kebencian. Sehingga pada akhirnya media sosial hanya dipenuhi arena caci maki dan akan sulit untuk berakhir damai.
Kegaduhan ini kian bertambah parah dengan munculnya berbagai pernyataan kontroversial dari para pejabat publik dan politisi di era pandemi Covid-19. Pernyataan yang kemudian viral karena selalu dimaknai berbeda oleh warganet, sehingga membuat jagat media sosial kian gaduh.
Sebut saja sindiran Menteri Risma yang beberapa waktu silam viral di media sosial karena akan memindahkan Aparatur Sipil Negara ke Papua. Meski sindiran ini bermaksud baik dan diklaim sebagai guyonan, akan tetapi bila membawa nama-nama daerah dan suku di Indonesia tentu dapat menyulut isu-isu rasisme berbasis digital di Indonesia. Sebab dalam jagat digital, akan banyak frasa sensitif yang kemudian dapat diplesetkan dan berujung pada rasisme.
BACA JUGA: Menakar Fenomenal Relawan Politik
Sejatinya banyak guyonan berbasis kedaerahan memiliki tujuan yang baik, tapi tidak semua guyonan tersebut dapat dipahami sama oleh semua warganet maupun publik. Sebab, di era demokrasi digital semua warganet bisa menterjemahkan frasa atau pernyataan yang berbeda-beda pula.
Penafsiran atas makna frasa tentu akan sangat tergantung dengan latar budaya masing-masing. Dengan kata lain, tidak semua warganet bisa mengerti model guyonan maupun sindirian antar daerah.
Sebagai contoh, guyonan maupun sindirian masyarakat Sumatera Utara tentu akan sangat berbeda dengan masyarakat Jawa dan begitu sebaliknya. Sehingga sedikit saja kita menggunakan frasa kedaerahan yang kontroversial di media sosial, tentu akan membuat kegaduhan publik. Inilah yang perlu lebih kita cermati ketika ingin mengunggah konten di media sosial.
Bila kemudian banyak dari pejabat publik hingga politisi kerap memberikan pernyataan kontroversial yang berujung kegaduhan, tentu ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Dikarenakan tidak mampu membuat kedamaian di tengah krisis kesehataan saat ini. Oleh sebab itu, selain para politisi dan pejabat publik, tentu pula kita berharap para influencer dan buzzer pemerintah yang bertugas memperkuat program kerja pemerintah di media sosial, juga harus dapat menjaga setiap unggahan agar tidak ikut-ikutan membuat kegaduhan politik ditengah pandemi Covid-19. Sebab diketahui kegaduhan di media sosial, juga disebabkan oleh unggahan para influencer dan buzzer pemerintah yang memuat konten negatif atau dengan kata lain justru mengajari publik untuk ikut mencaci maki.
Pada akhirnya bila kita benar-benar ingin menciptakan kedamaian ditengah pandemi Covid-19 terutama masa PPKM level 4, maka kedepankan kerja sama antar pihak dan kesampingkan perbedaan politik. Stop unggahan di media sosial yang akan menyulut kegaduhan termasuk frasa yang berpotensi menciptakan rasisme digital. Akan lebih bijak bila mulai dari pejabat publik, politisi, influencer, buzzer pemerintah hingga warganet untuk dapat menjaga pola komunikasi publiknya disemua lini digital.
Dengan kata lain, sudah tidak perlu lagi untuk ikut-ikutan membuat pernyataan kontroversial maupun unggahan dimedia sosial. Sebab harus disadari bahwa kita masih berjuang bersama-sama melawan pandemi Covid-19. Artinya, ayolah bikin konten di media sosial kita yang bermanfaat atau dapat membuat masyarakat jadi tenang dan bukan justru sebaliknya.
====
Penulis Peneliti Institute for Digital Democracy, Alumnus S2 Politik Pemerintahan UGM dan Magister Akuntansi UII Yogyakarta.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]