Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BILA saya mengamati berita yang ada di media massa sekait pembelajaran di era pandemi tampaknya tidak serta merta berjalan mulus sesuai harapan. Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sudah hampir dua tahun menyodorkan banyak perubahan, termasuk penyelenggarakan pendidikan. Pembelajaran yang semula memerlukan siswa hadir ke sekolah berganti dengan pembelajaran jarak jauh. Siswa hanya perlu masuk ke ruang-ruang virtual yang disediakan oleh guru. Penerapan pembelajaran jarak jauh bisa dikatakan sebagai terobosan dalam dunia pendidikan sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi yang saat ini terjadi. Sekaligus juga sebagai upaya memutus mata rantai virus COVID-19.
Akan tetapi, dalam pelaksanannya model pembelajaran baru ini mengalami kendala. Internet dan telepon seluler sebagai alat bantu masih belum merata dimiliki siswa. Meski sebenarnya untuk internet pemerintah telah berupaya memberikan kuota gratis kepada siswa dan guru.
Kendala yang lain muncul yakni kesiapan penyelenggara pendidikan yakni guru dan siswa. Pemerintah melalui Kemendikbud sebenarnya sudah mengupayakan berbagai srategi menyelenggarakan pendidikan dengan berbagai kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Salah satunya menyiapkan kurikulum darurat dengan mengurangi kompetensi dasar dari setiap mata pelajaran. Fokus pembelajaran ditujukan hanya pada yang esensial. Selain itu pula pemerintah menyiapkan modul pembelajaran untuk semua jenjang pendidikan dari SD, SMP, SMA/ SMK.
Namun dalam praktiknya masih ditemukan materi yang esensial pun tidak diberikan guru. Masih ada guru yang tidak hadir di ruang-ruang virtual melakukan seluruh rangkaian pembelajaran. Ada pula yang hanya menyerahkan setumpuk tugas kepada siswa. Cara ini tentu berdampak pada psikologis siswa. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Oktawirawan (2020: 541) kepada 74 responden ditemukan ada kecemasan yang dialami siswa selama pembelajaran daring dan itu dipacu oleh beberapa hal, di antaranya kesulitan memahami materi, kesulitan mengerjakan tugas-tugas, ketersediaan dan kondisi jaringan internet, kendala teknis, dan kekhawatiran akan tugas selanjutnya.
Tidak bisa dipungkiri situasi pandemi ini memaksa siswa dan guru siap dalam menghadapi perubahan sistem pembelajaran. Guru dituntut terampil dalam menerapkan berbagai cara melakukan pembelajaran daring dengan efektif dan hal memerlukan penguasaan teknologi. Sayangnya tidak semua guru mampu melakukannya. Untuk itu perlu kolaborasi diantara para guru dalam penerapan pembelajaran jarak jauh.
Guru senior misalnya ahli dalam kemampuan pedagogi sementara guru muda yang cakap teknologi menguasai berbagai aplikasi pembelajaran berkolaborasi membentuk komunitas untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sembari memperluas akses pembelajaran daring melalui pengadaan perangkat. Kemudian, para guru bersama-sama merumuskan model hybrid learning yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di sekolah masing-masing sebagai solusi menghadapi tantangan di masa depan.
Begitu juga dengan orang tua, pelaksanaan pembelajaran jarak jauh memerlukan dukungan orang tua. Ketidaksiapan orang tua mendampingi anak melakukan pembelajaran jarak jauh berpengaruh terhadap psikologis anak dan orang tua. Efeknya terjadi kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data yang dikutip dari berita online suara.com (17/12) selama pandemi didapati kenaikan kasus kekerasan terhadap anak di 34 negara. Orang tua seringkali melakukan pengasuhan negatif kepada anak.
Melihat kondisi tersebut pemerintah melalui Kemendikbud berencana segera membuka sekolah terutama untuk yang berada di wilayah zona hijau dan kuning. Namun keputusan itu harus dengan kesepakatan sejumlah pihak dari pemerintah daerah, pihak sekolah/kepala sekolah, dan orang tua.
Sementara itu untuk pembelajaran tatap muka itu harus berpedoman pada dua prinsip penting, yakni kesehatan dan psikologis perkembangan anak. Prinsip kesehatan yang dimaksud bahwa pembelajaran bisa dilakukan dengan membolehkan 50 % siswa dari kapasitas. Selebihnya siswa yang tidak hadir tetap melakukan pembelajaran daring di rumah dan itu dilakukan secara bergantian. Itu artinya hybrid learning akan terus ada meski sekolah sudah dibuka.
Betapa nisbinya pembelajaran tatap muka diselenggarakan. Perlu komitmen dan kedisplinan penyelenggara pendidikan untuk tetap berpegang pada protokol kesehatan. Memastikan semua siswa dan guru agar tertib melakukan 3 M, memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Memastikan fasilitas untuk melakukan 3 M tersebut tersedia. Dengan demikian kekhawatir akan munculnya kluster baru COVID-19 di lingkungan sekolah bisa dihindari dan pembelajaran tetap terlaksana sesuai dengan harapan. Akhir kata, perlu kiranya sikap adaptif dan kolaboratif semua pihak baik kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua agar dapat menyelenggarakan pendidikan bermakna di tengah perubahan yang dinamis.
=====
Penulis pengajar di Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]