Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PADA tanggal 6 Desember 2022 dalam rapat paripurna, DPR RI mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pengesahan RKUHP tersebut tentunya merupakan sebuah hadiah besar bagi negara Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia harus menunggu selama 77 tahun pasca kemerdekaan untuk bisa memiliki KUHP baru produk bangsa sendiri. Perjuangan melahirkan KUHP bentukan bangsa sendiri pada dasarnya bukanlah hal yang terjadi sekejap mata. Ada proses panjang yang sudah dilalui oleh pakar-pakar hukum pidana di Indonesia dari generasi ke generasi hingga lahirnya KUHP baru produk bangsa sendiri.
Akan tetapi, pada sisi lain disahkannya RKUHP oleh DPR RI juga menimbulkan amarah dan kekecewaan dari publik terhadap pemerintah dan DPR, karena dinilai terlalu terburu-buru melakukan pengesahan. Hal tersebut tidak lain ialah karena masih terdapat beberapa substansi dalam pasal-pasal KUHP baru yang dinilai “bermasalah”, baik dari sisi materiilnya maupun formilnya.
Salah satu substansi yang dinilai bermasalah oleh publik ialah mengenai ancaman pidana bagi koruptor yang melakukan tindak pidana Korupsi. Ya, sekali lagi tindak pidana korupsi. Karena oleh pembentuk KUHP tindak pidana korupsi yang merupakan delik khusus dimasukan ke dalam KUHP.
Pasal mengenai tindak pidana korupsi dalam KUHP yang dinilai bermasalah dan banyak mendapat sorotan dari publik ialah Pasal 603. Pasal ini merupakan bentuk perubahan dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KUHP baru mengubah ancaman pidana penjara dari yang semulanya paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun menjadi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Tidak hanya pidana penjara, KUHP baru juga mengubah ancaman pidana dendanya dari yang semula denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) menjadi paling sedikit kategori II (Rp10.000.000,00/sepuluh juta rupiah) dan paling banyak kategori VI (Rp 2.000.000.000,00/dua miliar rupiah).
KUHP baru terlihat menurunkan batas minimum khusus ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dari yang semulanya minimum khusus pidana penjara 4 (empat) tahun menjadi 2 (dua) tahun. Dari yang semula minimum khusus pidana dendanya Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) menjadi Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Sedangkan dari sisi maksimum khusus untuk pidana penjara tidak ada perubahan, namun perubahan maksimum khusus terlihat dari pidana dendanya yang naik.
Penentuan Sanksi Pidana
Ketika berbicara mengenai ancaman sanksi pidana dalam suatu undang-undang kita tidak bisa lepas dari kebijakan penentuan sanksi pidana oleh pembentuk undang-undang. Berbicara mengenai penentuan sanksi pidana dalam suatu undang-undang, kita tidak bisa terlepas dari yang namanya Strafmaat. Strafmaat ialah penentuan berat ringannya pidana.
Berbicara mengenai berat ringannya pidana (strafmaat) dalam suatu kebijakan legislasi, maka ada 3 sistem yang digunakan dalam perumusan strafmaat ini, yaitu Indefinite Sentence System (pembatasan maksimum khusus), Indeterminate Sentence System (pembatasan minimal khusus dan maksimum khusus) dan Definite Sentence System (tidak ada pembatasan maksimum khusus dan minimum khusus).
Pasal 603 KUHP baru, pada dasarnya menggunakan strafmaat dengan Indeterminate Sentence System (pembatasan minimal khusus dan maksimum khusus). Hal tersebut terlihat dari rumusan pasal yang menggunakan frasa “paling singkat” dan “paling lama”.
Penggunaan Indeterminate Sentence System dalam Pasal 603 berarti bahwa pembentuk undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim dengan kebijaksanaannya untuk memutus sanksi pidana kepada para koruptor, untuk pidana penjara dari rentang paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit sepuluh juta dan paling banyak dua milyar. Artinya hakim, secara normanya bisa saja menjatuhkan pidana kepada koruptor dengan ancaman penjara minimum 2 tahun dan dengan denda minimum sepuluh juta rupiah.
Penggunaan Indeterminate Sentence System dalam penentuan berat ringannya suatu ancaman pidana, memiliki konsekuensi bahwa pembentuk undang-undang harus cermat, teliti dan penuh perhitungan dalam menentukan batas minimum khusus dan batas maksimum khusus ancaman pidana. Terlebih lagi untuk batas minimum khususnya. Karena selama atau seberat apapun batas maksimum khusus pidana penjara yang diancamkan, namun minimum khususnya singkat maka penentuan maksimum khusus yang sudah diancamkan rentan tidak akan berjalan efektif.
Pasal 603 KUHP baru, menunjukkan adanya ketidakcermatan dan rendahnya perhitungan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam penentuan batas minimum khusus baik untuk pidana penjara ataupun pidana dendanya. Mengingat, minimum khusus yang diancamkan terjadi penurunan secara drastis dari ancaman yang terdapat diaturan sebelumnya yaitu dalam UU No 31 Tahun 1999.
Sangatlah tidak mustahil, publik teriak bahwa Pasal 603 ini merupakan angin segar bagi para koruptor. Mengingat ancaman pidana penjara yang minimum khususnya sangat singkat dan pidana denda yang minimum khususnya sangat sedikit.
Sampai sekarang ini, belum ada penjelasan resmi dari pembentuk undang-undang, bagaimana sebenarnya politik hukum dari pembentuk undang-undang sehingga melakukan penurunan pengaturan minimum khusus yang diancamkan terhadap koruptor tersebut. Adanya waktu tiga tahun sebelum KUHP baru ini berlaku, tentunya bisa dipergunakan oleh pembentuk undang-undang untuk menjelaskan kepada publik bagaimana politik hukum mereka sehingga memutuskan untuk merubah dan menurunkan batas minimum khusus ancaman pidana penjara dan pidana denda bagi koruptor.
====
Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada/CPNS Pengadilan Agama Pasarwajo/Asisten peneliti Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi FH UMY
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]