Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETELAH sekelompok masyarakat di Kota Gunungsitoli menganugerahkan gelar Balugu Sangeri Banua kepada Erick Thohir, Menteri BUMN RI, media sosial disarati berbagai komentar para nitizen. Sebagian besar menyayangkan pemberian gelar tersebut, serta segelintir orang yang mendukung (simak wartanias.com/8/1/2023). Bahkan beberapa komentar masuk kategori tidak santun (baca: sarkasme).
Paparan ini bertujuan mendeskripsikan proses pemberian gelar balugu bagi Ono Niha (orang Nias), khususnya di wilayah eks Kecamatan Gunungsitoli.
Sejak kecil hingga saat ini, ada tiga peristiwa pemberian gelar balugu yang pernah saya hadiri (di Desa Ononamõlõ I Botomuzõi (dahulu Kecamatan Gunungsitoli).
Ketiga balugu tersebut telah kembali ke Sang Pencipta. Anak-anak mereka sebaya dengan saya (lansia). Proses pemberian gelar balugu kepada ketiga tokoh masyarakat desa (banua) itu masih hangat dalam pikiran saya hingga saat ini. Ditambah lagi dengan hasil telaahan sejumlah referensi terkait pencapaian gelar balugu dalam budaya Nias.
Strata atau Bosi
Dalam beberapa referensi diperoleh informasi bahwa seseorang yang telah menikah, dalam konteks sosial-budaya Nias berada pada strata ketujuh (bosi sifitu). Strata ini tergolong rakyat kebanyakan. Apabila ingin menaikkan bosi pada jenjang berikutnya, ada beberapa hal yang wajib dilakukan.
Seseorang yang berkeinginan memperoleh gelar balugu (strata kesembilan/bosi si siwa), misalnya, diawali dengan pendirian kampung (fanaru’õ banua). Syarat pendirian kampung di antaranya mendirikan rumah adat berukuran besar (omo niboto silõtõ) dan menyiapkan perhiasan sang istri (Nias: ati-ati, balahõgõ, aya) berupa emas.
Kedua persyaratan ini dilaksanakan dengan mengikuti tata cara sebagaimana telah ditetapkan dalam hukum adat setiap wilayah (fondrakõ). Berdasarkan penuturan informan, waktu yang dibutuhkan antara 1 sampai 5 tahun.
Seingat saya untuk mencapai bosi pendirian kampung ini memerlukan biaya yang cukup banyak. Pertemuan demi pertemuan, baik sebelum pelaksanaan pesta maupun pada pelaksanaan pesta serta sesudah pesta. Calon pendiri kampung wajib menyediakan jamuan secara adat.
Apalagi pada hari pesta pendirian kampung (hari “H”), para ere, kepala kampung tetangga, tokoh masyarakat, dan seluruh masyarakat yang kadang bisa mencapai ribuan (termasuk anak-anak) turut menghadirinya. Ratusan jambar wajib disediakan untuk penghormatan kepada para tamu serta ratusan kilo daging babi disiapkan untuk kelompok masyarakat/undangan.
Orang yang melaksanakan acara pendirian kampung ini, apabila menetapkan orang-orang yang menjadi pengikutnya/pendukung (sifao ba gahe) dapat disebut satu kampung (sambua banua) dan disematkan gelar tuha (misalnya tuha samaeri dan sejenisnya).
Pada kegiatan fanaru banua ini, dilaksanakan penanaman sebatang pohon sebagai penanda adanya kampung yang bersangkutan sekaligus penabalan nama kampung, misalnya, hilitohir/hilieri atau sejenisnya. Intinya, pendiri kampung itu memiliki nama kampung sendiri dengan sejumlah pengikutnya.
Apabila yang bersangkutan tidak puas dengan gelar tuha dapat dilanjutkan pada pencapaian gelar balugu dengan melakukan berbagai tahapan adat yang cukup melelahkan termasuk pembiayaan.
Proses pencapaian gelar balugu ini sesuai dengan aturan adat yang telah ditetapkan dalam hukum fondrako. Selain telah mendirikan rumah adat dan penyiapan perhiasan istri, calon balugu wajib mendirikan gowe (menhir) di depan rumah adat miliknya, termasuk penyiapan perhiasannya sendiri.
Tentu saja tetap mengikuti tata cara pendirian gowe dan peresmian perhiasannya menurut hukum adat yang berlaku. Apabila tahapan ini telah dilakukan, pesta owasa pemberian gelar balugu baru dapat digelar.
Pada saat pemberian gelar balugu, semua salawa nori (terdiri atas beberapa kampung), para salawa, ere (tokoh agama), tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat yang ada di sekitar wajib dihadirkan. Lagi-lagi, sang calon balugu wajib menjamu para tamu dengan jambar yang kadang bisa mencapai ratusan serta daging babi yang juga dapat mencapai ribuan kilogram.
Gelar balugu (misalnya balugu sangehao banua/penata kampung dan sejenisnya) layak ditabalkan kepada yang bersangkutan serta berada pada strata kesembilan/bosi si siwa.
Gelar balugu ini masih belum sempurna. Demi kesempurnaan, sang balugu wajib menetapkan kembali para pendukungnya/pengikutnya dengan memberikan ucapan terima kasih dalam bentuk uang/babi.
Jika hal ini ditempuh/dilakukan, sang balugu mendapat posisi sebagai tuhenori (pimpinan beberapa banua) dan ditandu mengelilingi kampung dengan meneriakkan yel-yel gelar balugunya. Sang tuhenori ini berada pada strata kesepuluh.
Tahapan tersebutlah yang biasa ditempuh apabila seseorang ingin mendapatkan gelar balugu dalam konteks budaya Nias (khususnya eks Kecamatan Gunungsitoli). Tentu saja, ada tahapan tertentu yang berbeda di beberapa wilayah fondrako yang dikategorikan sebagai varian dan saling melengkapi. Agar kita mendapat pemahaman yang memadai, dapat dibaca sejumlah referensi tulisan para leluhur Ono Niha.
Gelar Balugu bagi Erick Thohir
Dengan merujuk pada tatanan budaya Ono Niha terkait pemberian gelar balugu, tampaknya ada pereduksian oleh sekelompok masyarakat. Gelar balugu diperoleh oleh seseorang yang telah melaksanakan berbagai tahapan adat dalam bentuk pengorbanan waktu dan harta.
BACA JUGA: 'Tepukan Sayang' Bu Kadis Pendidikan Siantar
Jamuan dalam wujud simbi dan daging babi tidak dapat dipisahkan dari pencapaian gelar tersebut. Tidak sedikit yang telah memperoleh gelar balugu/tuhenori pada akhirnya jatuh miskin karena tidak mampu membayar utang/pinjaman ketika melaksanakan pesta/owasa.
Hal lain yang perlu didalami, yaitu hakikat pencapaian gelar balugu. Patut dipahami bahwa salah satu pandangan hidup (world view) masyarakat Nias tempo dulu adalah penanaman budi sosial.
Hal ini akan terwujud apabila mereka melakukan berbagai pesta dengan memberikan simbi atau daging babi kepada orang lain dengan harapan akan mendapatkan hal serupa ketika orang yang menerima melaksanakan pesta adat. Tentu saja, pemerolehan gelar adat ini juga untuk menaikkan status di tengah-tengah masyarakat.
Terkait dengan pemberian gelar balugu kepada Erick Thohir, beberapa hal yang perlu dikaji oleh para budayawan Nias termasuk tokoh masyarakat agar tatanan budaya Ono Niha tidak ditafsir sesuai selera adalah sebagai berikut.
Hasil kajian atas pertanyaan ini berimplikasi pada layak-tidaknya; sah-tidaknya gelar balugu yang disematkan kepada Erick Thohir. Kendati demikian, William Shakespeare (1564 - 1616) pernah berujar, “memberikan nama lain pada bunga mawar, ia tetap juga wangi.” Analog dengan itu, “ada-tidaknya gelar balugu atau marga Zebua, Erick Thohir tidak pernah jadi Ono Niha.”
Penutup
Pemberian gelar balugu kepada Erick Thohir telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Nias (setidaknya melalui media sosial). Tindakan ini merupakan sebuah fenomena yang patut diapresiasi melalui kajian akademik.
Pemerintah di Kepulauan Nias perlu duduk bersama dengan lembaga/instansi yang menangani kebudayaan dan tokoh masyarakat serta akademisi untuk merumuskan indikator penganugerahan gelar balugu kepada seseorang yang tidak melalui tahapan adat agar generasi Ono Niha memiliki pemahaman yang komprehensif.
Semoga gelar balugu yang disandang oleh Erick Thohir berdampak praktis pada pengembangan ekonomi masyarakat Nias, seperti industri kelapa, perikanan, dan pariwisata yang ditawarkannya (Analisa, 8/1/2023). Bukan hanya sebatas penghias bibir sebagaimana tuturan presiden, sejumlah menteri, dan pejabat pemerintah lainnya ketika kunjungan kerja di Kepulauan Nias.
Masyarakat Nias sudah terlalu lama dininabobokan dengan mimpi-mimpi indah, seperti Nusa Indah Andalan Sumatera dan terakhir: Nias Pulau Impian. Semoga masyarakat tidak lagi terjebak pada untaian kata yang melenakan.
====
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Prima Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]