Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Gelombang gerakan massa yang terjadi di bumi Papua pada Sabtu, 19 Agustus 2019, adalah tamparan keras dan seharusnya menjadi kritik- oto kritik bagi seluruh elite politik dan masyarakat Indonesia di manapun berada. Bahwa tindakan kekerasan dan ujaran kebencian berbau SARA yang terjadi di Malang dan Surabaya ternyata melahirkan bola panas yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Berkaca pada subsantasi penyebab kemarahan seharusnya membuka kesadaran dan pembelajaran bahwa tantangan terbesar bangsa bukanlah dari luar negeri, namun justru mempertahankan persatuan dalam keberagaman. Memahami secara menyeluruh bahwa kelahiran Indonesia adalah sebagai kehendak & imaginasi bersama (imagined community), meski berlatar belakang dari suku, agama dan ras yang begitu berbeda.
Tindakan saling mencemooh, menghina atau merasa lebih tinggi dari identitas keberagaman yang lain akan merusak bangunan negara-bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Karena dalam konsepsi kewargaan-warga negara (citizenship), setiap warga negara Indonesia mempunyai hak melekat yang sama dan setara. Artinya, istilah mayoritas & minoritas dalam suku, agama atau ras sebenarnya tidak boleh ada, karena pemahaman tentang warga-bangsa yang sama, seharusnya sudah melampaui sentimen etnik, agama, primordialisme, dll.
Mengenal Persoalan Papua
Hanya selebar daun kelor, begitulah Bung Karno melihat wilayah Papua jika dibandingkan dengan kepulauan Indonesia. Namun merupakan bagian dari negeri Indonesia yang sangat berharga. “Akan tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya dipotong begitu saja tanpa membalas sedikitpun ? Apakah orang tidak akan berteriak kesakitan apabila dipotong ujung jarinya sekalipun hanya sedikit ?” kata Sukarno dalam otobiografi "Penyambung Lidah Rakyat Indonesia".
Sejarah mencatat, pada 3 Maret 1973, Presiden Soeharto meresmikan Kota Tembagapura, tempat beroperasi tambang emas milik PT Freeport Sulphur. Pperasional penambangan yang mengancam penduduk asli suku Amungme yang berdiam di dataran tinggi sekitar proyek tambang. Aktivitas penambangan yang telah mengubah bentang alam Gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Danau Wanagon sebagai danau suci orang Amungme ikut hancur karena dijadikan pembuangan batuan limbah yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama di wilayah Mimika : Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa. Ketiga sungai dijadikan tempat pembuangan limbah sisa produksi yang disebut tailing.
Operasi tambang PT Freeport pada akhirnya memicu konflik dengan masyarakat setempat. Bagi orang Amungme, Freeport seperti pencuri yang menjarah kediaman orang lain tanpa izin. Menurut penelitian Amiruddin Al Rahab dan Aderito Jesus de Soares dalam "Perjuangan Amungme : Antara Freeport dan dan Militer", selama 14 tahun pertama beroperasi Freeport meraup keuntungan sebesar 14,9 miliar dolar AS. Sedangkan penerimaan negara dari pajak dan royalti berjumlah 5,4 miiyar dolar AS. Sumber devisa negara dan menjadi penghasilan terbesar dari Papua untuk Indonesia. Seiring dengan itu, Suku Amungme dan suku-suku lainnya juga dijepit oleh migrasi pendatang dari luar Papua. Sekitar hektare lahan mukim Suku Amungme berpindah tangan ke tangan para pendatang, sebagai imbas dari program transmigrasi yang digalakkan pemerintah orde baru.
Kontrak karya Freeport sejak awal sudah dianggap menguntungkan penguasa orde baru dan segelintir elite Papua tanpa membangun atau berkontribusi terhadap masyarakat lokal akhirnya memicu protes. Pada 1977, protes Suku Amungme dan enam suku lainnya memuncak menjadi perlawanan terbuka. Namun bukan dialog dan pendekatan persuasif yang di kedepankan, tetapi stigma sebagai pengacau dengan label Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kemudian disematkan. Pendekatan keamanan yang represif dan rasa ketertindasan pada akhirnya memicu kembali munculnya nasionalisme etnik Papua.
Konflik yang disikapi dengan pendekatan militer dan keamanan, yakni lahirnya kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM ) di Papua pada 1978 – 1998, walaupun muncul kebijakan tentang Otonomi Khusus Papua melalui UU Nomor 21 Tahun 2001, dan sejak 2014 menjadi daerah prioritas pembangunan oleh Presiden Joko Widodo, namun pola pendekatan keamanan dengan menambah jumlah pasukan Polisi dan TNI untuk menyikapi setiap peristiwa tetap dilakukan hingga saat ini.
Pelajaran dari Peristiwa Papua
Penghinaan terhadap warga Papua dan etnik lainnya, bahkan mencemooh agama berbeda, sangat berisiko menggoyahkan sendi-sendi negara-bangsa Indonesia, sering tanpa disadari, terutama dalam hajatan Pilkada, hingga perilaku keseharian yang melakukan praktek pelecehan verbal dan elektronik di media sosial, sebenarnya menyakiti harga diri sekelompok suku atau agama. Jika secara terus-menerus terjadi bukan tidak mungkin melahirkan nasionalisme berlandas etnik, suku atau agama, dan akhirnya mengental dan melahirkan perpecahan yang sulit dipersatukan.
Tindakan saling merendahkan suku, etnik dan agama, cepat atau lambat akan semakin mengikis rasa persaudaraan, kemanusiaan dan pada akhirnya menggerus nasionalisme keindonesiaan, menjadi bola salju yang akan menghancurkan rumah bersama. Maka diperlukan ketegasan komitmen penghormatan kemanusiaan dan penegakkan hukum yang terang benderang dan tanpa pandang, agar tidak terjadi pengulangan peristiwa seperti Papua. Sehingga baru menyebut saudara, ketika orang yang selalu dipukul dan dihina, ingin keluar dari rumah bersama.
Negara-bangsa Indonesia memiliki 17 ribuan pulau, 1.331 suku/sub suku dan 652 bahasa daerah, dengan adat, budaya dan agama yang berbeda. Segala perbedaan seharusnya diterima sebagai bagian dari ketentuan alam, bahkan sesuatu yang selama ini dipromosikan sebagai "keindahan" (beauty) dan “ kekayaan “ (treasure).
Proses integrasi keindonesiaan sebagai negara dan bangsa tentunya harus dimulai dengan satu kesatuan yang utuh dalam sisi ekonomi, sosial dan politik yang setara dan saling menghargai serta menghormati. Nation and Character building yang tidak saling menutup diri, membuka sekat-sekat dan terus merekatkan rangkulan dalam perbedaan.
*Penulis adalah Direktur Perhimpunan Suluh Muda Indonesia/penggiat HAM dan demokrasi.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya . Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 px) Anda ke [email protected]