Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tulisan ini adalah rangkaian utuh atas tulisan saya dengan judul yang sama yang telah diterbitkan tanggal 17 Juli 2020 di media ini: Mencari Kepala Daerah Ideal di Tapanuli ((Bagian 1). Pada tulisan sebelumnya, penulis menguraikan seperti apa model kepemimpinan ideal yang pernah dijalankan oleh rezim Sisingamangaraja (SMR) selama 5 abad, yang berintikan antara lain kepemimpinan yang melayani, problem solver, konsisten mempertahankan tanah leluhur, dan membebaskan warganya dari jerat kemiskinan, termasuk bebas korupsi dan memberikan harta kekayaannya untuk membebaskan warga miskin .
Tulisan lanjutan ini secara khusus menguraikan realitas politik terkini – antithesis dari model kepemimpinan SMR. Namun demikian, dalam situasi politik amoral dan kacau seperti itu, harapan dan kesempatan justru harus (di)muncul(kan), untuk menangkap “perasaan rakyat” yang sudah bosan dengan situasi yang sedemikian selama berpuluh tahun, suatu sikap radical optimism untuk menyongsong era baru pancaroba.
Realitas Pahit
Warisan buruk kolonial dan orde baru yang membunuh budaya adiluhung SMR- sebagaimana diuraiakan dalam tulisan pertama, generasi muda dan millennial mulai mempertanyakan secara kritis bahwa peradaban politik dan budaya sedang berada di jalan yang keliru.
Kekecewaan bukan hanya dengan praktik politik yang berlangsung di era post reformasi di berbagai kabupaten kota Sumatera Utara – dan Indonesia secara umum, tetapi dengan praktik adat Batak sehari-hari yang sangat jauh dari prinsip kesederhanaan, kehormatan, dan kemanusiaan. Distorsi kolonial dan distorsi modernisasi brutal orde baru (individualisme, pragmatisme, hedonisme) telah menumbukan sikap kritis anak-anak muda terhadap praktik adat yang berlangsung saat ini, seperti adat pernikahan, adat penguburan orang meninggal, dan lain sebagainya. Budaya tersisa telah terdistorsi mengurus hal-hal yang artifisial, dan kehilangan substansinya, yakni mengatur sumber sumber kehidupan, relasi manusia dengan alam, dan relasi sosial politik. Relasi adat dan para pihak, terdistorsi menjadi urusan uang dalam arti yang paling harfiah; manggarar adat (bayar membayar).
Teritori bius yang dipertahankan SMR mati-matian, dengan mudah diserahkan oleh orde baru kepada beberapa korporasi di pegunungan Toba. Alhasil, hancurnya kawasan ini telah mengancam ekosistem Danau Toba, dan mengancam kehidupan agraria masyarakat setempat. Sejak 1983 hingga kini, tidak ada satu kepala daerah manapun yang, jangankan mempertanyakan pemberian konsesi skala luas di kawasan rentan gempa itu, apalagi menghentikannya. Ini adalah penghianatan telanjang terhadap semangat perjuangan SMR. Konon, para elit politik dan utamanya para lelaki Batak ikut serta menikmati perampasan tanah dan hutan ini selama puluhan tahun.
Kembali ke persoalan utama yang menjadi tujuan tulisan ini: bagaimana praktik politik mutakhir pemilihan kepala daerah, secara khusus di Sumatera Utara (secara umum di Indonesia)?
Praktiknya, sistem politik kita bergerak mengamankan kepentingan oligarki yang diboncengi oleh kepentingan asing dengan tujuan akhir mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia. Kalau pun ada perubahan atau perbaikan pada sistem politik ini, itu cuma seolah-olah, dan parsial, dengan maksud mengelabui masyarakat supaya tetap bersedia mendukung dan memberi legitimasi politik kepada kekuatan politik yang sudah sangat mapan sekarang ini.
Siklus dari praktik praktik menjadi kepala daerah itu seperti berikut ini – sekali lagi, ini tidak masuk dalam kurikulum belajar ilmu politik di universitas. Jika Anda orang yang sangat terkenal, populer di masyarakat, juga kader salah satu parpol, maka Anda harus membeli restu, berjenjang, dari DPC-DPD-DPP- dan pemilik partai. Pembelian restu secara tunai dan disertai janji setia bila telah duduk nanti.
Namun, jika Anda orang yang sangat terkenal, populer di masyarakat, tapi bukan kader salah satu parpol, maka biaya pembelian restu menjadi lebih mahal, lebih banyak kontannya plus janji setia. Dan, jika Anda orang yang tidak terkenal di masyarakat, bukan kader salah satu parpol, maka Anda harus membeli dukungan dari partai pengusung dengan harga yang sangat mahal, sehingga membuat mereka melupakan kadernya sendiri.
Tahap selanjutnya, setelah mendapat restu, Anda membutuhkan kas keras untuk mendapatkan dukungan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan ketua-ketua organisasi kepemudaan. Tugas selanjutnya yang dilakukan seorang calon adalah menghitung kesanggupan logistik –yang dimiliki sendiri dan diutang dari berbagai konglomerat- dibagi jumlah populasi pemilih. Sudah cukup? Belum, pastikan ketersediaan dana untuk aparatus yang tidak perlu disebutkan di sini-aparatus apa dan yang mana saja, silahkan terjemahkan sendiri. Satu lagi, logistik diperlukan untuk memastikan bahwa, jika anda menang, terkadang ada yang iseng menggugat di Mahkamah Konstitusi. Ini juga berbahaya, kalau anda tidak hati hati, orang iseng itu bisa menang.
Setelah menang, maka anda belum bisa nyenyak tidur. Jika mengandalkan pinjaman, mulailah mengangsur pinjaman, dan menyediakan proyek negara untuk mereka. Jangan lupa, partai pengusung anda, keluarga dekat anda, dan para tim sukses anda juga butuh dilibatkan, mulai dari jatah proyek, menjadi PNS, dan sumbangan sumbangan rutin lainnya setiap bulan.
Tidak heran, pemimpin daerah termasuk legislatif antri pakai rompi oranye, masuk penjara, dari satu periode ke periode berikutnya. Bagaimana dengan teladan SMR di atas?
Pemimpin Yang Baik: A mission Impossible?
Maksud dari tulisan ini tidak sedang dan sekadar menggambarkan sesuatu, tetapi mendeklarasikan perlawanan untuk mengubah realitas itu. Harapan harus tetap dipelihara, dan jangan sampai pemuda mengalami kebangkrutan moral. Bahwa ada suatu siklus sejarah yang berlangsung ratusan tahun dimana pemimpinnya bersahaja, sederhana, melayani, berkeadilan dan berkemanusiaan.
Gejala umum – praktik buruk- diatas, tidak berarti menafikan adanya gejala kasuistik – praktik baik. Ada saja satu dua pemimpin daerah yang cara mendapatkan dan menjalankan kekuasaannya dilakukan dengan cara-cara yang baik- meski teramat jarang. Contoh di sekitar kita; ada pemimpin yang merintis posisinya dari wakil kepala daerah, dan seiring waktunya mendapatkan kesempatan menjadi kepala daerah, dan menjalaninya dengan penuh hormat, tanpa siklus praktik buruk yang digambarkan diatas.
Dalam situasi kekacauan moral politik yang terjadi saat ini, kita teringat kembali dengan sejarah kemunculan SMR lebih dari 500 tahun yang lalu. Jika Sisingamangaraja muncul di tengah bencana perang antar bius dan huta, maka dalam konteks sekarang pemberontakan millennial harus lahir dari antara puing puing revolusi teknologi dan bencana global virus – dua hal yang telah membuat para politisi kotor yang menua hidup dalam kegagapannya.
Di tengah alam praktik pragmatisme dan brutalisme politik yang terjadi saat ini, kita bisa menyaksikan satu dua munculnya pemimpin – pemimpin muda yang mempertanyakan secara kritis praktik busuk ini. Meski rasanya sulit, namun optimisme harus dibangun, bahwa meniti dari bawah secara bermartabat, dan menjadi pengambil keputusan di tingkat daerah atau nasional karena kerja keras, niat baik, dan kapasitas akan dihargai dan mendapatkan kesempatan berkembang (Habis).
====
Penulis pengajar, dan praktisi sosial
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]