Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MENJADI hal yang tidak asing selalu kita dengar sebuah pernyataan, “Tolong dipertimbangkan baik-baik sebelum mengambil tindakan”. Akan tetapi, dalam sebuah organisasi, pernyataan tersebut tidaklah cukup untuk mewakili seseorang yang pengaruhnya penting dalam pengambilan keputusan. Dan pernyataan tersebut tidak tepat untuk diterapkan dalam penentuan kebijakan.
Seseorang tersebut harus menentukan aktifitas berdasarkan skala prioritas risiko. Sehingga dapat mewujudkan setiap kegiatan terlaksana dengan baik dan tepat waktu. Penentuan risiko bukanlah semata-mata bertujuan agar perusahaan tersebut dapat mencapai nilai ekonomis perusahaan. Banyak yang menjadi penerima manfaat, khususnya manusia sebagai aset perusahaan (sumber daya manusia) yang berharga sekaligus sebagai penerima jasa pelayanan.
Dari sebuah literatur yang berjudul “Kumpulan Studi Kasus Manajemen Risiko di Indonesia,” saya mendapat gambaran bahwa kasus tentang kegagalan perusahaan dalam mengelola manajemen risiko tidak jarang lagi kita dengar. Sayangnya kasus kegagalan penerapan manajemen risiko tersebut justru datang dari perusahaan monopoli, salah satu penghasil pendapatan terbesar negara. Mirisnya apakah sebuah perusahaan besar tidak memiliki sistem manajemen risiko yang tepat?
Kasus kegagalan manajemen risiko juga dialami pada perusahaan internasional. Sehingga tidak jarang di masa awal saja bendera organisasi berkiprah. Namun lambat laun memadam karena tidak mampu bertahan seiring perkembangan zaman.
Istilah Governance, Risk Management, dan Compliance (GRC) membuat saya dapat menghubungkan bahwa manajemen risiko dan kepatuhan adalah hal yang berkaitan. Mereka yang tidak patuh pada kaidah, peraturan, standar operasional yang ditetapkan akan mengalami risiko. Misalkan mereka yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas berisiko celaka, mereka yang tidak memakai masker, menjaga jarak, dan menjaga kebersihan tangan akan terpapar Covid-19, mereka yang tidak mengerjakan pekerjaan berisiko dihukum, dan masih banyak lagi.
Untuk mencegah risiko sebenarnya yang terpenting adalah mengubah cara berpikir kita untuk mematuhi ketentuan dan peraturan yang sudah ditetapkan. Karena dalam setiap kegiatan suatu organisasi selalu ada badan yang berperan untuk mengawasi. Di Indonesia sendiri, dari pihak auditor eksternal maupun internal berperan mengendalikan segala aktifitas dalam institusi ataupun organisasi agar sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
BACA JUGA: Pentingnya Peran SPI di Setiap Sektor Perusahaan
Uniknya, yang menjadi pertanyaan menggelitik, mengapa masih ada tindakan korupsi ketika keberadaan satuan pengawas internal ada untuk melakukan pemeriksaan secara rutin maupun khusus dalam suatu organisasi? Karena tindakan korupsi adalah sebuah resiko yang harus dihindari dan diminimalisir dengan adanya penentuan skala prioritas risiko.
Mengambil data dari Kompas.com, nilai indeks persepsi korupsi (IPK) corruption perception index (CPI) Indonesia tahun 2020 adalah berada di angka 37 pada skala 0-100. Adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Indonesia berada dalam posisi yang tidak bagus dari bersih korupsi. Miris sekali.
Pola pikir dan perilaku para koruptor yang tidak patuh dan sempit karena tidak menyadari keberadaan pengawas yang selalu ada untuk memeriksa dan mendapati mereka dalam keadaan bersalah. Ini adalah kenyataan bahwa proporsi audit kepatuhan merupakan hal yang paling penting dan perlu ditingkatkan dalam pengawasan untuk menghindari kerugian yang nilai materialistiknya besar.
Baik untuk diterapkan pada organisasi yang bergerak di bidang transportasi, konstruksi, teknologi dan komunikasi perkebunan, keuangan dan investasi, kesehatan, dan lainnya haruslah memiliki sistem manajemen resiko yang baik. Apalagi disaat pandemi Covid-19 ini, tidak boleh lengah. Tidak harus selalu aktivitas dalam skala besar, aktivitas skala kecil juga. Perbedaannya hanya terletak dari metodenya.
Sebelumnya, pada aktivitas skala besar khususnya dalam organisasi, metode pengukuran dengan membuat daftar objek kegiatan dan diberikan nilai resikonya (ada ketentuan). Nilai tersebut diperoleh berdasarkan observasi dan analisa yang dilakukan terhadap karyawan. Sementara aktivitas pada skala kecil, tanpa harus mengurutkan tingkatan resiko tersebut, kita bisa mengandalkan pengamatan yang lebih peka, pengalaman dan logika atas apa yang terjadi.
Karena semakin tinggi didapati skala prioritas resiko dari aktifitas, semakin tinggi juga fokus pengawasan pada kegiatan tersebut. Khususnya pada aktifitas yang berpeluang besar menjadi ladang korupsi.
====
Penulis adalah seorang Satuan Pengawas Internal di salah satu BUMN dan bergiat pada Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]