Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KALIMAT-judul di atas diambil dari perkataan Mas Pram. Kata-kata itu banyak dibuat sebagai rujukan oleh banyak pihak untuk memperjuangkan keadilan. Namun, betapa pun keadilan diperjuangkan, ia tetap masih jauh dari harapan. Semakin jauh karena kita nyata-nyata tidak adil sejak dari pikiran. Padahal, bagaimana mungkin keadilan bisa dicapai jika sumber kebajikan, yaitu nalar tak difungsikan dengan baik? Mari berjujur hati bahwa kita sebenar-benarnya masih sangat jauh dari pikiran, apalagi tindakan untuk adil.
Kita ambil contoh terbaru di mana beberapa orang ditangkap karena menghina Palestina. Padahal, dalam pelacakan saya, kalimat penghinaan tersebut sebelumnya sudah dilakukan ke negara lain, seperti Israel, bahkan lebih banyak. Ibaratnya, kalimat ini hanya mengubah subjek dari Israel ke Palestina tanpa mengubah tindakannya. Artinya, napas dari kalimat itu tetap sama saja. Namun, di lapangan, yang kemudian ditangkap adalah hanya para penghina Palestina. Sementara itu, penghina Israel malah terkesan semakin bebas dan buas. Apa artinya bagi kita?
Artinya sederhana saja: kita bisa menghina orang lain, tetapi kita tak bisa dihina orang lain. Ironisnya, tindakan ini juga merembes pada dunia pendidikan. Sebagaimana diketahui, seorang siswa dipecat (DO) dari sekolah setelah mengadakan sidang tertutup dengan sekolah, orang tua, dinas pendidikan, DPRD, bahkan TNI-Polri (detik.com, 18/05/2021). Saya tak sedang pada posisi membela siswa itu. Titik berangkatnya sama: siapa pun dari kita tak bisa menghina semena-mena. Namun, adalah tidak adil jika menangkap seseorang atas nama menghina, sementara yang lain bebas melenggang, juga padahal menghina.
Kecenderungan yang Sama
Supaya terang, mari dimulai dari analisis bahasa yang identik semata agar kalimat hujatan yang viral itu tidak tersaji di sini: X jelek. Pada kalimat itu, “X” berposisi sebagai subjek dan “jelek” sebagai predikat. Menuduh X sebagai jelek adalah sebuah penghinaan (bandingkan dengan kalimat hujatan yang viral tersebut). Nah, apakah kalimat itu akan berubah tidak menjadi penghinaan atau hujatan hanya karena kita mengubah subjeknya dari X ke Y, yaitu Y jelek? Darimana nalarnya kita menangkap X, tetapi malah membiarkan Y?
BACA JUGA: Ancaman Mutasi dan Ketidakmerdekaan Guru
Sebagai kaum terdidik, bahkan dari ranah pendidikan, semestinya harus menangkap keduanya. Alasannya sederhana: kejahatan tak bisa ditoleransi. Apalagi, kejahatan itu menular dan berkembang sangat canggih. Jika dibiarkan, kejahatan yang sama akan semakin liar. Karena itu, keduanya mesti ditangkap agar tidak menjadi racun yang diperjualbelikan dan dipertontonkan. Pasalnya, jika hanya X ditangkap, maka akan semakin banyak orang yang melakukan tindakan yang sama hanya dengan menyalin rupa menjadi Y.
Saya tak akan membahas sejarah peperangan di kedua negara tersebut karena bukan kapasitas saya untuk menganalisisnya. Namun, pada dasarnya, setiap manusia punya kecederungan yang sama. Mari beranalogi. Jika ada pertandingan A melawan B, setiap kita tidak selalu otomatis sama-sama mendukung A atau sama-sama mendukung B. Kita punya tim masing-masing dengan berbaga alasan dengan subjektivitas yang tinggi. Namun, dalam dukung-mendukung itu, ada etika yang mesti dijunjung di samping sportivitas. Fans A tak boleh merundung fans B. Demikian sebaliknya.
Manakala fans A merundung fans B, wasit atau pihak berwajib harus menangkap fans A. Sebaliknya, jika fans B merundung fans A, hal yang sama juga dilakukan. Barangkali analogi ini terlalu sederhana. Sebab, pada kasus yang dibahas ini, satu pihak cenderung berposisi sebagai pelaku kekerasan (Israel) dan satu pihak lain (Palestina) sebagai korban kekerasan. Karena itu, banyak dari kita yang membuat kalimat bersayap bahwa kita tak perlu menjadi orang Palestina untuk mengetahui penderitaan mereka. Kalimat bersayap itu benar adanya bahwa kita hanya perlu menjadi manusia.
Namun, perlu juga untuk direnungkan bersama bahwa kita tak akan menjadi manusia sempurna jika kita ramai-ramai merundung pelaku kekerasan, bahkan ramai-ramai merundung orang yang pro pada pelaku kekerasan itu. Apa bedanya kita dengan pelaku kekerasan tersebut? Atas dasar itulah mengapa saya membuat tulisan ini. Saya melihat, cara berpikir dan tindakan kita yang tak adil ini potensial dicontoh oleh kaum muda atau anak didik. Sebab, sadar atau tidak, dalam benak mereka tertanam sebuah pemikiran bahwa merundung bukan tindakalan yang salah selama kita berada pada posisi Y.
Tak Akan Berarti
Bayangkan jika itu terjadi di ruang kelas. Banyak siswa merundung Si A. Alasan banyak siswa itu, misalnya, adalah karena Si A dibenci oleh banyak siswa di ruangan kelas tersebut. Apakah kita sebagai guru juga dibenarkan untuk ikut-ikutan merundung Si A hanya karena banyak siswa merundung Si A? Di sinilah kaum terdidik dan pihak berwajib semestinya adil untuk berpikir dan bertindak. Keadilan ini diperlukan bukan untuk menoleransi kejahatan Si A terhadap Si B atau kejahatan Si B terhadap Si A, melainkan agar kejahatan yang sama tidak berulang.
Semakin tampak ketidakadilan kita itu sebab ada siswa sebelum-sebelumnya yang menghina polisi, tetapi tak juga dikeluarkan dari sekolah. Siswa yang pola pikirnya sederhana bisa-bisa malah berpikir bahwa Palestina, misalnya, lebih berharga untuk dibela daripada Indonesia. Hal itu makin samar-samar terlihat karena di negara kita sedang ada pembunuhan pada empat orang petani di Poso, tetapi kita terkesan diam pada hal tersebut. Kita lebih tertarik pada masalah negara lain, bahkan bertengkar karena masalah negara lain. Sudah seharusnya pihak berwajib memberi teladan keadilan sejak dari pikiran.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa seribu nasihat tak akan berarti jika dibandingkan dengan sebuah teladan. Artinya, meski mengajarkan dan memberi petuah dengan seribu nasihat supaya generasi bangsa berlaku adil, jika kita sebagai pejabat dan orang tua tak memberi teladan yang baik, maka seribu nasihat yang diberikan itu hanya pepesan kosong. Percaya atau tidak, saat ini kita sedang memberikan, bahkan mempertontonkan seribu nasihat. Sayang, tak satu pun dari generasi muda kita yang mendengar karena miskinnya teladan penegakan hukum kita.
====
Penulis Guru SMAN 1 Doloksanggul, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]