Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SAMPAI awal bulan Juli 2021, kasus harian Covid-19 kembali mendapatkan rekor baru, yakni 24.836 kasus atau meningkat dua kali lipat dari dua pekan terakhir. Angka kematian Covid-19 juga mengalami peningkatan yang drastis yakni 250% dalam periode yang sama. Besarnya lonjakan kenaikan ini pun direspon langsung Presiden Joko Widodo dengan pengumuman kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat untuk kawasan Jawa dan Bali.
Diberlakukannya PPKM darurat menyebabkan seluruh aktivitas perkantoran sektor nonesensial akan dilakukan sepenuhnya dari rumah. Nonesensial artinya bukan sektor keuangan, perbankan pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan, industri yang berorientasi ekspor. Penyelenggaran sektor esensial ini pun juga dibatasi kapasitasnya dengan jumlah 50%
Sementara sektor kritikal diperbolehkan 100% dimana sektor ini meliputi sektor energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman, dan penunjangnya, semen, penanganan bencana, sektor proyek strategis, konstruksi, utilitas dasar seperti sektor listrik dan air dan juga industri yang menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.
Ketentuan PPKM Darurat ini sama halnya dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, berdasarkan Peraturan Gubernur Jakarta No.33/2020 dijelaskan jika seluruh kantor atau instansi pemerintah pusat dan daerah, BUMN dan kantor perwakilan negara masuk yang dikecualikan.Sementara itu, dalam aturan PPKM mikro aktivitas perkantoran tetap boleh berlangsung dengan ketentuan penerapan bekerja dari rumah 50% jika berada di zona kuning dan oranye serta bekerja 75% dari rumah bagi kantor yang berada di zona merah. Aturan PPKM mikro ini pun diperpanjang 10 kali sejak ditetapkan pertama kali pada 11- 25 Januari 2021. Terjadinya perubahan kebijakan dimulai dari PSBB, PPKM mikro hingga PPKM Darurat ini pun menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat jika pemerintah hanya terkesan lebih suka mengubah nama kebijakan tapi tidak mengubah konsep mitigasi penyelesaian pandemi Covid-19. Benarkah pendapat ini?
Rasionalitas Karatina
Sejak terjadi wabah pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 silam pemerintah sepertinya gamang dalam menyelesaikan wabah virus Covid-19. Padahal wabah Covid-19 terus memicu keadaan darurat kesehatan dalam skala besar di seluruh dunia.
Selama terjadi pandemi ini, banyak negara dunia yang sudah beberapa kali melakukan lockdown menyusul terus meningkatnya jumlah kasus Covid-19. Kuatnya dampak Covid-19 membuat kebijakan pembatasan sosial menjadi hal urgen untuk dilakukan. Pembatasan sosial menjadi kebijakan utama yang banyak memutuskan rantai penularan. Melakukan pembatasan sosial secara benar dan konsisten, diharapkan mampu menurunkan angka penularan secara optimal.
Apalagi jika berkaca dalam jejak sejarah sebuah pandemi global, kejadian pandemi flu Spanyol pada 1918, menunjukkan sebuah fakta sejarah jika kota-kota yang melakukan kebijakan physical distancingmempunyai kasus dan korban meninggal yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kota-kota yang tidak memberlakukan hal tersebut. Karena alasan inilah maka banyak negara dunia yang lebih mengoptimalisasikan sikap physical distancing melalui kebijakan karantina wilayah demi pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Tapi pertanyaannya apakah kebijakan karantina wilayah dapat memberi konsekuensi yang lebih baik kehidupan warga masyarakat secara utuh?
BACA JUGA: Hambatan Reformasi Birokrasi Indonesia
Kebijakan pembatasan sosial mempunyai dampak yang tidak disukai banyak orang. Kita punya kebutuhan bersosialisasi yang sangat besar. Bekerja, belajar, berekreasi, maupun beribadah membutuhkan banyak interaksi di ruang publik yang sangat besar. Melaksanakan pembatasan sosial menyebabkan kita kehilangan semua rutinitas yang sudah menjadi bagian hidup kita. Kehilangan ini tidak hanya dapat mengganggu secara psikologis, tetapi juga secara ekonomis. Dampak ini memengaruhi kepatuhan seseorang terhadap kebijakan physical distancing.
Dalam memutus rantai penyebaran virus yang mematikan, keterlibatan warga yang proaktif dalam menekan jumlah kerumunan di luar rumah dapat menjadi sebuah solusi yang baik. Apalagi negara Indonesia tidak menerapkan lockdown seperti halnya negara lain di dunia yang telah lama menerapkan lockdown dalam mencegah penularan virus Covid- 19.
Jika kita melihat pada skema konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga hari ini, negara Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sayangnya dalam undang - undang tersebut tak ditemukan istilah lockdown.
Secara formal, dalam undang-undang tersebut hanya mengatur mengenai karantina dalam rumah (Pasal 1 angka 8), karantina rumah sakit (Pasal 1 angka 9), karantina wilayah (Pasal 1 angka 10) dan pembatasan sosial berskala besar (Pasal 1 angka 11). Secara teknis, pijakan hukum ini taklah sempurna karena belum ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur mengenai batas-batas dan cara pelaksanaannya.
Pemahaman karantina jelas berbeda dengan pemahaman lockdownyang selama ini dpahami oleh banyak negara dunia, karena dalam karantina kesehatan jelas ada upaya riil untuk melakukan pencegahan dan perbaikan kesehatan, tanpa harus melibatkan penutupan pada sektor lainnya seperti ekonomi dan sosial seperti halnya kebijakan PSBB, PPKM Mikro dan PPKM Darurat.
Kesesuaian Kebijakan
Secara rasional, baik itu PSBB, PPKM mikro ataupun PPKM darurat merupakan wujud aplikatif dari kebijakan karantina kesehatan. Tentu ini perlu dilihat kembali pada kesesuaian efektivitas dari pola kebijakan tersebut.
Hal yang penting untuk diingat kembali di sini ialah soal keputusan melakukan karantina wilayah yang harus didasarkan pada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk pertanggung jawaban pada soal keadilan hukum yang nondiskriminatif dan pertimbangan kontekstual ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
Dalam konteks efektivitas karantina kesehatan dalam mencegah penularan dan penanggulangan virus Covid-19, sejatinya kita membutuhkan perspektif diluar kesehatan yang komprehensif. Meskipun banyak orang mengatakan kesehatan sebagai aspek utama tanpa harus mempedulikan perspektif diluar kesehatan. Tapi jelas faktor non kesehatanlah yang sebenarnya dapat memicu secara signifikan dari banyaknya, masalah kesehatan.
Ketika orang menjadi stres karena kehilangan pekerjaan dan tak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi, maka dari hal itulah seseorang dapat menjadi terganggu kesehatannya. Karena itu penting kiranya untuk dipikirkan secara matang bagaimana efektivitas kebijakan karantina kesehatan tak lagi melahirkan masalah baru bagi kesehatan.
Pemerintah dalam melakukan optimalisasi kebijakan karantina kesehatan seperti halnya kebijakan PPKM darurat yang sekarang ini diberlakukan harus melihat keseimbangan pola implementasi karantina kesehatan secara total. Seperti memikirkan solutif rasional dari penambahan lapangan kerja dan pelatihan untuk terampil dalam adaptasi perubahan dunia kerja baru karena dampak pandemi Covid-19. Karena selama ini yang terlihat pemerintah hanya memberikan bantalan ekonomi sesaat seperti halnya bantuan sosial Covid-19 yang justru menjadi ironi, karena menjadi lumbung korupsi baru bagi para elite pemerintahan.
Idealnya pemerintah lebih memikirkan bagaimana skema penerapan kehidupan baru ditengah pandemi Covid-19 ketimbang melakukan pembatasan tapi tidak memberi solusi penyelesaian yang stabil. Selama pandemi Covid-19 ini pemerintah harusnya lebih dapat berinisiatif untuk menata pelaksanaan konsep negara kesehatan secara lebih matang. Hal ini dapat dimulai dari gerakan penanaman pohon untuk setiap kawasan kota dan desa supaya sirkulasi udara bersih dalam lingkungan kota dan desa terus ada dan bersih.
Begitu juga dengan inisiatif untuk melakukan perubahan konsep perkantoran dan sekolah yang lebih terbuka, tentu hal ini akan memberi nilai kesehatan yang baik bagi banyak para pekerja. Hal-hal seperti ini sekalipun sederhana sesungguhnya memberi dampak nyata bagi gerak sadar pemeliharaan kesehatan secara umum.
====
Penulis Penulis Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]