Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BARU-baru ini Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Wariyo menyampaikan jika dunia saat ini masih menghadapi tantangan pemulihan ekonomi yang tak seimbang. Pada 2021 perekonomian global tumbuh reltif tinggi yaitu sebesar 5,7 persen. Namun, pertumbuhan tersebut hanya bertumpu pertumbuhan ekonomi dua negara besar yaitu Amerika Serikat dan Cina. Karena itu BI memperkirakan kondisi ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi ini masih akan berlanjut pada tahun ini . (Bank Indonesia, 2022).
Secara rasional, BI memperkirakan pada 2022 ini pertumbuhan ekonomi dunia bisa tumbuh 4,4 persen tapi faktanya masalah ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global menjadi faktor yang tidak dapat dihindarkan. Penyebab utama dari ketidakseimbangan itu adalah masalah kemampuan negara-negara dunia yang tidak seimbang.
Pada ukuran negara maju, mampu melakukan vaksinasi secara cepat dan memberikan stimulus baik stimulus fiskal maupun moneter secara besar-besaran. Di sisi lain, kemampuan negara untuk melakukan vaksinasi secara cepat dan memberikan stimulus sangat terbatas.
Karena itulah, BI merevisi ke bawah angka proyeksi pertumbuhan ekonomi global sejalan dengan meningkatnya eskalasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Yang semula angka pertumbuhan ekonomi mampu mencapai 4,4 persen maka pada asesmen terkini berpotensi turun sampai pada 3,8 persen. Semua tergantung berapa eskalasi ini berlangsung.
Perang Rusia dan Ukraina faktanya sangat berimplikasi pada soal kestabilan harga komoditas perdagangan dan pasar finansial global. Dari sisi harga komoditas, kenaikan harga yang tinggi telah terlihat pada komoditas energi dan pangan. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada peningkatan inflasi yang tinggi di tingkat global.
Dampak Langsung
Pada sisi pasar keuangan perang antara Rusia dan Ukraina juga akan berdampak pada persepsi resiko global dan tertahannya modal asing ke negara emerging markets. Ditengah krisis politik Rusia dan Ukraina, harga minyak mentah dunia, Brent menyentuh angka 139,13 dollar AS per barel pekan ini. Ini merupakan harga tertinggi sejak Oktober 2014.
Mulai meningkatnya permintaan minyak mentah erat kaitannya dengan situasi di Ukraina dimana banyak negara dunia yang khawatir suplai minyak mentah dunia menjadi terganggu akibat gejolak politik di Kazakhstan dan krisis politik Rusia dan Ukrania. Seperti Kazakhstan dan Rusia adalah produsen minyak dunia signifikan. Dengan produksi 11juta barel per hari, Rusia adalah negara dengan produksi terbesar ketiga setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS).
Adanya serangan Rusia ke Ukraina mau tidak mau telah mengubah minat banyak para investor dunia dalam menemukan mitra ekonominya. Hal ini dapat dilihat saat bank dan perusahaan Barat meninjau kembali eksposur senilai ratusan miliar dollar AS ke Rusia tik dianggap remeh. Berdasarkan data Reuters, krisis geopolitik Ukraina telah menyebabkan banyak investor dunia berpikir ulang cara menetapkan risiko ekonomi negara hubungan diplomatik. (Reuters, 2022).
Sejak pecahnya konflik Rusia dan Ukraina, setiap investor dunia yang memiliki aset keuangan yang berada dan terkait dengan Rusia telah tertekan sejak negara itu menyerang Ukraina per 24 Februari 2022. Krisis Ukraina yang datang dengan puluhan sanksi ekonomi negara-negara Barat kepada Rusia berkembang menjadi ”perang energi”. Amerika Serikat menghentikan impor energi Rusia.
Sebagai balasan, Rusia melempar sinyal menghentikan ekspor energinya. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Washington DC, bahkan sudah melakukan penghentian seluruh impor minyak, gas, dan batubara dari Rusia ke negaranya. Ini disebutnya sebagai bagian dari tekanan agar Rusia menghentikan serangan ke Ukraina.
BACA JUGA: Urgensi Sistem Resi Gudang di Tengah Pandemi
Adanya kenaikan harga minyak jelas menekan neraca perdagangan nasional. Sebab, Indonesia importir minyak bersih (net oil importer) dan konsumsi energi nasional terhadap minyak dan gas bumi (migas) mencapai 51 persen. Defisit neraca perdagangan migas nasional menjadi makin besar.
Padahal, perolehan tambahan devisa harga komoditas, tak menutup kebutuhan tambahan devisa untuk membiayai impor migas. Karena itu sangat beralasan jika konflik Rusia dan Ukraina telah berdampak ke berbagai sendi perekonomian di seluruh dunia.
Kondisi ini semakin ditambah dengan risiko kenaikan inflasi di negara maju, serta rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) mengerek suku bunga acuan sejalan sebagai antisipasi pemulihan ekonomi terlalu tinggi. Bahkan Bank Sentral AS Jeremy Powell pada pekan ini akan terus menaikkan suku bunga sampai inflasi benar-benar dalam jangkauan.
Langkah Taktis
Perang Rusia dan Ukraina telah berdampak besar bagi pemulihan ekonomi dunia dan Indonesia. Saat ini banyak perusahaan asing dan internasional langsung menarik bisnis mereka dari Rusia. Sekarang ini nilai mata uang rubel Rusia telah jatuh sebesar 28 persen tahun ini akibat modal yang ditarik dan dialihkan keluar negara itu. Indeks saham Rusia rontok 90 persen pada pasar luar negeri.
Kekacauan membayangi perekonomian Rusia yang nilainya mencapai 1,6 triliun dollar AS. Putin melancarkan balasan setiap saat, mulai menghentikan aliran gas negaranya ke Eropa hingga yang paling ekstrem menggunakan senjata nuklir.
Merespons tindakan di Moskwa, banyak negara dunia yang turut menyiapkan aksi balasan berikutnya. Semangat kedua pihak saling merespons dengan tindakan yang bisa jadi lebih merusak dan tidak rasional. Implikasi jangka panjang situasi ini akan menakutkan.
Semakin banyak aksi balas serang, maka semakin banyak negara dunia yang berusaha menghindari ketergantungan pada keuangan Barat. Situasi ini diproyeksikan akan membuat hadirnya ancaman pengucilan bagi negara-negara yang berseberangan ekonomi politiknya dengan negara besar, seperti yang dilakukan terhadap Rusia saat ini.
Hal ini jelas merupakan fragmentasi ekonomi dunia yang sangat negatif. Pada posisi ini, negara-negara di luar kepentingan Rusia dan Ukraina diharapkan dapat lebih fokus pada resiko penurunan pertumbuhan dan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19. Ketegangan geopolitik global yang terus menerus berlanjut hanya akan menghasilkan dorongan stagflasi ekonomi Asia, dimana permintaan melemah, tapi harga-harga komoditas akan jauh lebih tinggi.
Mengantisipasi segala macam prospek pertumbuhan ekonomi yang melemah akibat masalah geopolitik Rusia dan Ukraina. Ada dua langkah taktis yang dimajukan pemerintah Indonesia sebagai antisipasi mendorong pemulihan ekonomi di tengah ketidakstabilan global saat ini.
Pertama, melakukan efektifivitas kebijakan ekonomi dalam negeri. Bank sentral nasional dalam hal ini BI hendaknya mampu memangkas nilai suku bunga. Pada situasi ini, arah ekonomi nasional perlu hati - hati untuk menahan inflasi setiap harga komoditas supaya tak memikul beban berat kebutuhan.
Kedua, membangun kestabilan pada sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara konsisten dan terarah. Langkah ini penting untuk diprioritaskan pemerintah ditengah ketidakpastian ekonomi global supaya membangun konsolidasi berkelanjutan,guna memperbaiki dari sisi penerimaan negara dan belanja negara agar lebih efisien, serta lebih tepat sasaran.
Jika setiap belanja negara dapat dikendalikan secara baik, maka hal itu akan mampu menjaga kondisi perekonomian nasional dari dampak negatif yang disebabkan oleh pergerakan geopolitik dan volatilitas (indeks statistik) pasar global.
====
Penulis Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]