Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ISLAM sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk seluruh alam semesta) dan dalam pelaksanaannya telah diatur dengan qanun atau undang-undang tersendiri yang dikendalikan di bawah seorang pucuk pimpinan, baik sebagai kepala negara, gubernur, bupati hingga negara terkecil yang dikenal dengan “keluarga”. Sebuah kepemimpinan bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih-berwibawa dan dapat mengantar kepada kesejahteraan masyarakat diperlukan seorang sosok yang mengerti tentang esensi kepemimpinan dan merealisasikannya dalam organisasi atau pemerintahan yang dia pimpin.
Dalam Islam kewajiban menaati pemimpin hal yang mutlak dan tidak ada tawar-menawar selama sang pemimpin mengajak kepada kebenaran sebagaimana yang dititahkan dalam syariat, walaupun dirinya seorang yang melanggar perintah Allah SWT, di antara nash atau dalil. Yang menegaskan hal tersebut di antaranya disebutkan dalam hadist nabi berbunyi: “Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu? ”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka”. (HR. Muslim no. 1847).
Dalam hadist di atas dikandung pengertian, kewajiban menaati kepada pemimpin tidak gugur disebabkan dirinya pemimpin melakukan maksiat dalam agama, baik kepada Allah, Rasul dan sesamanya. Hanya yang tidak wajib taat selama dia menyuruh kita kepada perbuatan yang melanggar perintah Allah dan Rasulnya. Ini ditegaskan dalam hadist nabi SAW dengan bunyinya: “Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)”. (HR. Bukhari no. 7257)
Hadist di atas diperkuat oleh perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda-Nya, “Seorang Muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat”. (HR. Bukhari no. 7144).
Bahkan, menaati pemimpin merupakan berada pada urutan ketiga setelah Allah SWT dan Rasul-Nya sesuai dengan penjelasan di dalam surat An-Nisa’aya 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An Nisa’ [4] : 59)
Penjelelasan di dalam ayat di atas sangat jelas diungkapakan bahwa ketaatan seseorang kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’, karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya SAW.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan taat. Begitu juga sebaliknya walaupun dirinya seorang fasik dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul.
Kepemimpinan Perempuan
Konsep kepemimpinan perempuan beberapa studi memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan dalam gaya (style) kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih koordinasi (feminity style), sedangkan laki-laki menggunakan gaya yang mendasarkan pada kontrol dan perintah (masculinity style).
Sehubungan dengan isu gender dan kepemimpinan, Robbins (1998) mengemukakan dua hal: pertama, menyamakan antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan dan cenderung mengabaikan perbedaan di antara keduanya. Kedua, bahwa apa yang menjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih demokratis, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah). Penelitian Tannen menyatakan pemimpin yang menekankan pada hubungan dan keakraban cenderung dimiliki perempuan.
Memungkinkan seorang pemimpin tersebut bersikap memberdayakan segenap anggotanya, serta menekankan struktur organisasi. Sedangkan pemimpin yang menekankan pada status dan kemandirian, yang cenderung dimiliki laki-laki memungkinkan pemimpin tersebut mengadopsi struktur hirarkis, spesialisasi, dan perintah.
BACA JUGA: Bulan Syawal, Asal-usul dan Berpuasa 6 Hari
Bass, Avolio, dan Atwater (1996) menemukan bahwa laki-laki umumnya lebih menampilkan kepemimpinan transaksional jika dibandingkan dengan perempuan. Sebaliknya, perempuan lebih memperlihatkan kepemimpinan transformasional.
Banyak kualitas yang diperlukan untuk memiliki kepemimpinan organisasi yang efektif pada situasi sekarang ini, yakni berkualitas dan umumnya diasosiasikan dengan kemimpinan transformasional.
Keberadaan agama dalam kehidupan bermasyarakat berfungsi untuk menetapkan seksualitas dan status orang dewasa dan rasionalisisasi hak-hak sosial yang istimewa dalam masyarakat. Dalam budaya patriarki, agama berfungsi untuk melegitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki. Konsekuensinya, seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati “kenormalan “laki-laki.
Selama budaya patriarkhi tetap dipertahankan sejauh itu pula pandangan-pandangan misoginis, dalam kadar yang berbeda-beda tetap mewarnai kehidupan masyarakat. Sikap misoginis adalah kegusaran laki-laki atas derajat keberadaannya yang dipersamakan dengan perempuan.
Dari faktor di atas telah menyebabkan terpeliharanya ketimpangan jender pada tingkat relasi sosial. Interpretasi agama mempunyai andil besar untuk menempatkan ketimpangan tersebut sebagai bagian dari realitas obyektif yang harus diterima (Abdullah,2003:62-63).
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, bahwa agama dijadikan sebagai alat pemaksa bagi kelebihan posisi dan peran yang diharapkan dari masing-masing pihak, sehingga akan sangat sulit bagi setiap individu untuk keluar dari tatanan tersebut. Konsep kekuasaan bagi budaya patriarkhi adalah ekspresi dari seorang laki-laki untuk menunjukkan kekuatannya sebagai penentu.
Ada 2 pendapat mengenai kepemimpinan perempuan dalam wacana publik dalam buku “Perempuan dan Kekuasaan” Fauzi (2002:40- 69) menjabarkannya sebagai berikut: Dijelaskan bahwa kepemimpinan perempuan di ranah publik dipandang dengan melihat dua pendapat yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin di ranah publik, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa perempuan boleh.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perempuan tidak boleh berkiprah di sektor publik karena perempuan memiliki kelemahan dalam hal emosi, perempuan dianggap tidak mampu mengemban posisi kepemimpinan. Selain itu, mengenai pelarangan perempuan untuk terjun ke sektor publik diperkuat dengan beberapa ayat dalam Alquran dan hadits sebagai rujukan dalam menetapkan posisi perempuan di sektor publik menurut pandangan ajaran agama Islam.
Menurut pendapat ini bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan umum apapun. Sebab dalam hal itu tidak ada kemenangan dan kesuksesan. Maka dalam kemenangannya pun ada kerugian. Mereka merujuk larangan ini pada emosi perempuan dan sifat-sifat kodratnya yang menjadikannya tidak mampu mengambil keputusan yang benar (Fauzi,2002:40-46).
Sedangkan pendapat kedua, Fauzi (2002:46-70) melihat bahwa tidak ada pelarangan bagi kaum perempuan untuk menjadi pemimpin di sektor publik dengan melihat sejarah turunnya beberapa ayat-ayat dan Hadits yang dianggap tidak relevan dengan keadaan saat ini. Hal itu diketahui setelah merujuk pada sebab turunnya beberapa ayat tersebut.
Menurut Qardlawi (2004:22-23) pada prinsipnya, tidak ada larangan bagi perempuan untuk memerintah (berkuasa). Analoginya adalah substansi ‘musaawah’ (persamaan) dalam segala bidang, termasuk dalam sektor publik. Lagi pula tak satu pun ayat dalam Alquran melarangnya. Karenanya, banyak tuntutan perempuan untuk terjun ke dunia pemerintahan maupun swasta yang termasuk dalam sektor publik, sebagaimana berlaku terhadap kaum laki-laki. Dan memerintah ini termasuk dalam kategori taklif bagi kemaslahatan umum, baik laki-laki maupun perempuan.
Fatwa hukum haram memilih pemimpin perempuan atau fatwa- fatwa fikih lainnya di dalam dunia sosial, ekonomi, dan politik akan kehilangan makna praktis ketika harus berhadapan dengan berbagai kepentingan sekuler mayoritas rakyat pemilih. Kesalehan berarti politik jika diikuti komitmen membela kepentingan rakyat. Rekonstruksi ajaran bagi pemecahan problem sosial-ekonomi dan politik yang dihadapi rakyat dipandang sebagai kebutuhan yang semakin urgen.
Terlepas dari itu, hendaknya sosok pemimpin itu seorang yang visioner dan mampu memberikan kontribusi serta reformasi dalam kepemimpinannya. Kewajiban kita sebagai bawahan atau orang yang dipimpin untuk mematuhi dan menaatinya. Sudahkah kita melakukannya?
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
====
Penulis Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga dan Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, kandidat doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ketua Ansor Pijay.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]