Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETIAP 10 Oktober kita memperingati World Mental Health Day (WMHD) atau Hari Kesehatan Mental Sedunia. WMHD pertama kali di inisiasi pada 1992 oleh World Federation For Mental Health (WFMH) membawa misi meningkatkan pengetahuan dan juga kesadaran kesehatan mental bagi seluruh masyarakat dunia. Fakta yang hadir di masyarakat selama ini menunjukkan jika masalah kesehatan mental masih dinomorduakan setelah kesehatan fisik, padahal kedua masalah ini memiliki kedudukan yang sama penting bagi kesejahteraan hidup manusia. Dengan peringatan kesehatan mental diharapkan masyarakat sedikit menaruh perhatian pada isu kesehatan mental itu sendiri.
Dalam definisi World Health Organization (WHO, 2001), masalah kesehatan mental merupakan kondisi kesejahteraan yang disadari oleh individu, dimana di dalamnya terdapat kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja produktif serta berkemampuan mengembangkan potensi diri dan memiliki kepuasan dalam hidupnya. Hal ini relevan dengan definisi umum kesehatan menurut WHO yaitu “keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani) dan sosial, dan bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan” (Smet, 1994).
Seseorang dapat dinilai sehat bila terjadi keseimbangan baik antara kondisi fisik dan mentalnya. Realitanya masih banyak masyarakat Indonesia yang awam tentang pentingnya merawat kesehatan jiwa dan mental. Individu sehat mental adalah mereka berkemampuan yang memiliki kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku tenggang rasa kepada orang lain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia.
Analisis Data
Dalam studi peneliti psikologi,Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental merupakan keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi realistis diri, menerima kekurangan dan kelemahannya, berkemampuan dalam menghadapi masalah hidup, memiliki kepuasan kehidupan sosial serta memiliki rasa kebahagiaan dalam hidupnya.
Peringatan kesehatan mental hingga kini kerap dijadikan sebagai gerakan moral atau champaign yang mengangkat isu kesadaran (awareness) masyarakat luas mengenai kesehatan mental. Di Indonesia, peringatan kesehatan mental mulai intens ditetapkan pada 1993 dengan misi menghormati hak ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan) sekaligus memperluas program pencegahan masalah kesehatan jiwa.
Di tengah situasi pandemi Covid -19, masalah gangguan kesehatan jiwa merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan serius. Karena konsekuensi kehadiran pandemi tak hanya berdampak bagi gangguan kesehatan secara fisik.Situasi pandemi juga berdampak pada kesehatan jiwa jutaan orang.
Hal ini sangatlah wajar mengingat wabah pandemi Covid-19 telah berlangsung selama dua tahun yang memunculkan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat isolasi, pembatasan sosial, dan ketidakpastian menunggu pandemi Covid-19 berakhir dan tekanan ekonomi yang sangat besar akibat kehilangan pekerjaan selama masa pandemi Covid-19. Hal ini jelas berdampak serius bagi peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa dan mental masyarakat.
Menganalisa data sebelum wabah pandemi Covid-19, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) ada lebih 19 Juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 Juta penduduk berusia 15 tahun mengalami depresi. Data ini menunjukkan jika potensi gangguan jiwa atau mental besar dengan mudahnya terjadi ditengah kaum muda karena ada gejolak emosional yang sangat tinggi. (Kemenkes RI, 2020).
Di tengah situasi wabah pandemi Covid-19 seperti sekarang tentu kondisi semacam ini rentan sekali memicu gangguan kesehatan jiwa. Disinilah pentingnya menjaga kesehatan diri untuk tetap patuh dan displin dengan protokol kesehatan agar tidak tertular Covid-19 serta selalu menjaga kesehatan jiwa dengan pandai menjaga stres dan menciptakan suasana yang nyaman bagi anggota keluarga. Jika melihat data terbaru Kementerian Kesehatan RI, untuk saat ini Indonesia memiliki prevelensi orang dengan gangguan penyakit jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk. Artinya 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa.(Kemenkes RI, 2021).
Selain angka gangguan jiwa masih tinggi, keberadaan rumah sakit jiwa juga menjadi permasalahan. Belum semua provinsi Indonesia yang mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan seharusnya. Permasalahan lain adalah terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang profesional untuk tenaga kesehatan jiwa.
Bahkan untuk saat ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya mempunyai 1.053 orang artinya satu psikiater melayani sebanyak 250 ribu orang. (Kemenkes RI, 2021).Ini jelas menjadi beban besar meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Masalah kesehatan jiwa di Indonesia juga terkendala stigma sosial dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa.
Kesadaran Masyarakat
Di Indonesia, kesadaran pentingnya merawat kesehatan jiwa masih sangat kurang. Memiliki gangguan jiwa masih dianggap hal tabu atau bahkan aib yang mesti disembunyikan dalam keluarga. Apalagi hingga saat ini,masyarakat kita juga masih memandang rendah para penderita gangguan mental dengan memberi stereotip, sikap pengucilan, dan diskriminasi terhadap ODGJ, sehingga hal ini mempersulit proses kesembuhan penderita secara lebih cepat.
BACA JUGA: Masa Depan Pertanian Indonesia
Stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa ditimbulkan keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai penyebab gangguan jiwa dan nilai-nilai tradisi budaya yang masih kuat berakar sehingga gangguan jiwa sering kali dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan (Kirmayer, Groleau, Guzder, Blake, & Jarvis, 2003). Hal ini pula yang menyebabkan banyak orang, sejatinya membutuhkan bantuan menjadi sangat takut untuk berkonsultasi dan pada akhirnya hanya membuat penangan menjadi terhambat.
Kesadaran atau awareness kesehatan jiwa akan dapat mudah terbangun jika seluruh komponen masyarakat juga turut menyadari pentingnya kesehatan mental, sebagai salah satu upaya pencegahan menekan angka penduduk yang mengalami gangguan jiwa. Menjaga rasa saling peduli antar sesama manusia menjadi pilihan yang tepat dalam membangun kesadaran kesehatan jiwa di Indonesia.
Pentingnya eksistensi dan keberadaan individu yang tak bisa lepas dari pengaruh kesehatan ekosistem lingkungan sekitarnya, begitu juga bagi individu yang secara tak langsung memberi pengaruh terhadap kesehatan lingkungannya.
Selama masa pandemi Covid-19, kita banyak menghabiskan waktu dirumah sebagai konsekuensi pembatasan sosial demi mengurangi risiko penularan Covid-19 Maka rasa saling peduli untuk merawat kondisi jiwa (mental) dan pemikiran sehat merupakan amunisi yang penting bagi ketahanan imunitas tubuh supaya tak mudah terserang penyakit.
Dengan hati yang gembira maka stres menjadi hilang dan membuat hidup menjadi lebih semangat, termasuk juga dalam memperkuat jaringan ketahanan ekonomi untuk dapat menahan tekanan mental menjadi sangat pelik. Dalam rasionalitas ini memang sangat dibutuhkan sebuah environment support untuk menjaga stabilitas mood produktif dapat berkembang menjadi baik dan menghasilkan ketahanan hidup yang maksimum pula.
====
Penulis Analis dan Eksekutif Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG) posisi lanskap, data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]