Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PIDIE Jaya sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan negeri Japakeh memiliki banyak peninggalan sejarah, namun kebanyakannya tidak ada yang peduli dengan situs sejarah tersebut. Peninggalan itu baik kuburan ulama, pejuang dan tokoh lintas elemen.
Sejarah tanpa catatan yang tertulis atau dibukukan lambat laun akan hilang ditelan masa, terlebih generasi penerus yang tidak peduli dengan sejarah endatunya.
Bandar Dua dengan ibu kotanya Ulee Glee merupakan kawasan yang dikenal sebagai kota santrinya Negeri Japakeh. Kondisi ini tidak berlebihan seperti halnya Samalanga kota santri di Aceh dengan bertebarannya di sudut dusun dan gampong dayah atau balee pengajian di Kecamatan paling ujung di Pidie Jaya itu.
Mengupas situs sejarah di Ulee Glee tentunya tidak sedikit yang belum tergali bahkan masyarakat dan pemerintah setempat kurang peduli dengan sejarah sendiri, salah satunya situs sejarah di Gampong Blang Dalam yang dikenal dengan ‘’Patung Ma Sihe’i”.
Sejak dulu Blang Dalam terkenal dengan gudang lahirnya tokoh lintas elemen di Pidie Jaya baik tokoh agama, pendidikan dan lainnya. Di antaranya Kamaruddin Andalah, Munawar Ibrahim dan lainnya.
Menelesuri jalan setepak dari jalan nasional Banda Aceh-Medan menuju kawasan situs sejarah Ma Sihe’i tentunya tidaklah jauh, hanya sekitar 100 meter dengan jalan kaki atau 3 menit sudah sampai menuju kawasan tersebut.
Situs Ma Sihe’i dan beberapa benda lainnya yang merupakan bagian dari legenda sejarah tersebut tempatnya menurut tokoh Blang Dalam tidaklah berjauhan. Dulunya tempat beradanya situs tersebut memang semak belukar yang susah untuk dilalui karena sudah menjadi semak belukar dan rawa-rawa.
Kini keberadaan situs Ma Sihe’i aksesnya sudah sangat mudah dilalui, terlebih adanya rabat beton dan jalan mudah diakses. Berdasarkan penuturan tokoh Gampong Blang Dalam, kawasan lokasinya situs Ma Sihei merupakan dekat pantai dan berbatuan.
Selain adanya patung berbentuk manusia berkelamin perempuan yang disebut dengan Ma Sihei’, juga ada bekas bu kulah, patung penganan yang sudah menjadi bebatuan termasuk anaknya Sihe’i juga sudah jadi bebatuan yang kini jarak benda purbakala tersebut terpisah.
Berdasarkan catatan Nabhany AS, patung Buddha diyakini Ma Sih'e di Ulee Gle Pijay. Penggiat sejarah asal Ulee Glee juga alumni SMA yang terletak di dekat situs ‘Ma Sihei’’ itu menyebut peninggalan sejarah itu sebagai peninggalan Buddha tentunya tidak ada bukti kongkrit yang menyebutkan itu sebagai peningalan Buddha.
Secara pribadi juga tidak setuju dengan argumen tersebut, terlebih keberadaan sejarahnya hampir sama dengan legenda Maling Kundang. Kita anggap saja itu sebagai situs sejarah tanpa harus diembeli dengan ungkapan ‘diyakini’’ peninggalan Buddha terlebih murajjih (pendukung) lain tidak ada.
Menurut penelesuran penulis juga diperkuat dengan tulisan NAS (Nabhany AS) cerita orang tua-tua di Gampong Blang Dalam itu, batu Ma Sih'e ini memang sengaja ditelungkan, karena anak-anak sering bermain di kawasan tersebut. Terlebih dengan bentuk pantung Ma Sihei kelihatan fulgar, makanya ditelengkuplah patung tersebut.
Terlebih kini untuk memudahkan akses jalan gampong juga harus dipindahkan. Namun kita tidak tahu sejak kapan batu berbentuk tubuh perempuan ini ditelungkupkan oleh masyarakat setempat.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kisah dan ceritanya persis seperti cerita Maling Kundang, Sampuraga, atau cerita Ahmad Rahmanyang di Krueng Raya Aceh Besar.
Sih'e adalah nama seorang anak laki-laki yatim yang hidup bersama ibunya. Menanjak dewasa Sih'e minta izin pada ibunya untuk merantau memperbaiki nasipnya di negeri orang.
Selama kepergiannya, Sih'e tak pernah pulang menjenguk ibunya yang sudah tua renta. Sementara ibunya sangat merindukannya.
Apalagi sang ibu, mendenger kabar bahwa anaknya Sih'e sdh kaya raya di rantau orang. Ibunya selalu menitip pesan pada orang agar Sih'e dapat pulang sebentar untuk menemui ibunya yang sudah tua renta.
Karena dalam pikiran ibunya, mungkin ia akan melihat anaknya Sih'e itu untuk terakhir kali, sebelum ibunya meninggal dunia.
Suatu hari, ibu Sih'e mendapat kabar dari seorang teman Sih'e, bahwa Sih'e akan pulang dengan istri dan anak-anaknya dengan kapalnya sendiri. Ibu Sih'e sangat senang mendengar kabar kepulangan anaknya.
Pada hari yang telah ditentukan, ibu Sih'e pun memasak makanan kesukaan Sih'e. Ibu Sih'e memasak kuah on murong (sayur daun kelor) dan boh itek jruek (telor asin), juga nasi yang dikulah (bu kulah) untuk menyambut kepulangan Sih'e bersama keluarganya.
Setelah semua menu masakan kesukaan Sih'e selesai dimasak, lalu ibu Sih'e pun pergi ke pelabuhan. Menurut cerita, Paya Sih'e di Desa Blang Dalam Ulee Gle, zaman itu masih berupa laut yangg dapat disinggahi kapal untuk berlabuh.
Kondisi ini tentunya benar disamping pernyataan beberapa warga gampong tersebut juga saat warga menggali sumur masih ada bekas pasir laut di kawasan tersebut dan sekitarnya.
Maka, kapal milik Sih'e yang membawa pulang keluarganya pun berlabuh di paya Sih'e. Saat ibu Sih'e hendak menemui anak Sih'e di pelabuhan, si Sih'e pun marah-marah. Ia tidak mengakui lagi kalau itu ibunya yang melahirkannya yang sudah tua renta.
Sih'e yang sudah kaya raya, merasa malu pada istrinya untuk mengakui, kalau perempuan tua itu adalah ibunya. Pada hal istrinya sendiri membujuk Sih'e untuk tidak marah-marah pada perempuan tua ini, karena tidak istri Sih'e yakin kalau perempuan tua itu adalah ibu kandungnya Sih'e.
Namun, Sih'e tetap tidak mengakui wanita tua itu sebagai ibunya. Bahkan Sih'e menghina ibunya sendiri dengan perkataan-perkataan yang sangat menyedihkan sebagai seorang ibu.
Dengan hati yang hancur, ibu Sih'e pun bermunajjad pada Allah atas kedurhakaan anaknya, yang tidak mengakuinya bahwa ia seorang ibu yang telah melahirkannya.
Takdir Allah, kutukan pun datang, badai besar menyapu kapal Sih'e entah kemana. Yang kemudian mereka sekeluarga pun jadi batu. Termasuk menu makanan kuah on murong dan boh itek jruek, sebagai makanan kesukaan si Sih'e juga turut jadi batu. Begitu lagenda cerita batu Ma Sih'e, yang terdapat di Desa Blang Dalam, Ulee Gle Kecamatan Bandardua Pidie Jaya.
Kita berharap pemerintah daerah Pidie Jaya melalui dinas terkait juga pihak Muspika dapat melestarikan kembali situs sejarah tersebut untuk dapat diketahui generasi selanjutnya, terlebih di balik legenda Ma Sihei (LMS) itu memiliki pelajaran yang sangat berharga untuk tidak durhaka kepada orang tua.
Saat penulis dan warga Blang Dalam melakukan meusaraya (gotong Royong) membersihkan kawasan tersebut situs itu masih seperti adanya dan tidak terurus terlebih sudah tertanam dan tertelungkup.
Legenda Ma Sihei sejarah yang dilupakan dan dilestarikan, siapa lagi yang peduli sejarah kalau bukan kita. Lantas sepakatkah sejarah endatu dibumihanguskan atau dilestarikan?
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
====
Penulis Warga Blang Dalam/Dosen IAIA Samalanga/Alumni MUDI Samalanga/Ketua Ansor Pidie Jaya.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]