Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Di ujung tahun 2019, Dewan Kesenian Sumatera Utara yang dinakhodai Baharudin Sahputra menciptakan sejarah. Selama 20 tahun saya berkiprah di dunia teater Sumut, bahkan pernah indekos di Taman Budaya Sumatera Utara, peristiwa sore, 5 Desember 2019 itu tak pernah terjadi. Harus diakui Ketua DKSU kini adalah seorang yang lincah dan lihai melakukan lobi-lobi.
Teater Sumut yang selama 20 tahun ini sangat miskin ruang dialog, tiba-tiba dikayakan dengan berkumpulnya para tokoh teater Sumut lintas generasi. Sebuah fenomena yang membahagiakan untuk saya pribadi. Soekisno, Ketua Komite Teater DKSU mampu mengeksekusi gagasan brilian Baharudin Sahputra ini.
Diskusi Teater bertajuk "Teater di Sumut Sepi Sponsor" yang diselenggarakan Komite Teater Sumut pada 5 Desember 2019 berlangsung dari pukul 14.00-18.00 WIB, di Sanggar Tari Taman Budaya Sumatera Utara. Ruang dialog yang semi formal itu terkesan sebagai ajang reuni penggiat teater Sumut yang pernah berkiprah di tahun 1970-1990-an. Ada Suheri Sasmita, Porman Wilson Manalu, Burhan Polka, Hadi Ra, Munir, Syaiful Ishak, Bambang Sumantri, Rudi Pama, Ayub Badrin, Teja Purnama, Sukisno, Kamal, Fauziah Adla Hasibuan, Suyadi San, Darma Lubis, Yono Jede, Aishah Basar, Baharudin Syahputra, Endra Mulyadi, Hafiz Taadi, Herwin Kampusi.
Penggiat teater yang muncul di tahun 2000-an awal: saya sendiri dan Ahmad Munawar Lubis serta beberapa personil teater kampus SISI UMSU, ada juga mahasiswa-mahasiswa jurusan musik Universitas HKBP Nommensen, dan praktisi film Onny Kresnawan.
Diskusi dibuka oleh abangda Suheri Sasmita sebagai narasumber pertama; mengabarkan tentang puncak produksi kelompok-kelompok teater di Sumatera Utara pada era 1980-1990-an, walaupun tanpa dukungan sponsor. Menarik sebenarnya materi yang disampaikan abangda Suheri Sasmita ini seandainya beliau mau menukik lebih jauh untuk membahas strategi kelompok-kelompok teater tersebut mampu terus berproduksi, lalu melampirkan arsip dan dokumentasinya, serta memaparkan penyebab terpuruknya teater di Sumut pada tahun 2000-an, sementara di tahun 1990-an mencapai puncaknya.
Ia menyebutkan bahwa dari tahun 1980-1990-an kelompok-kelompok teater di Sumatera Utara mencapai puncak produktifitas dalam berkarya. Tanpa dijamah sponsor, pertunjukan dapat berlangsung bukan saja di Taman Budaya Sumut, namun juga di berbagai balai desa/kelurahan yang ada di wilayah Sumut. Teater di Sumut sudah terbiasa bermodalkan semangat dan kemandirian.
Dari paparan singkat beliau timbul beberapa keanehan yang laten bagi saya. Bila di era tersebut adalah puncak produktifitas kelompok teater Sumut, kenapa ketika saya terjun bebas ke dunia teater di ujung tahun 1990-an tidak merasakan denyut kehidupan teater yang bergolak? Semestinya bila di era tersebut adalah puncak dari produktifitas kelompok-kelompok teater Sumut, tersisa jejak yang dapat dibaca dan digauli.
Beberapa hari saya mencoba mengingat dan merenungkan kembali peristiwa 5 Desember 2019 itu. Kalau yang dipaparkan Suheri Sasmita itu adalah benar, model antiklimaks apa yang terjadi di kehidupan teater Sumut? Sehingga setelah era puncak produktifitas, kelompok-kelompok teater langsung terjun bebas jadi "mati". Semestinya kelompok-kelompok teater yang telah mencapai puncak produktifitas karya tersebut meninggalkan jejak yang dapat dibaca publik.
Ruang Tanpa Peta, Sempit dan Banyak Lorong
Kecurigaan saya kemudian menjalar ke cara Suheri Sasmita mengukur era 1980-1990-an sebagai puncak produktifitas kelompok-kelompok teater Sumut. Kalau cara mengukurnya dengan kuantitas pertunjukan; ada berapa puluh kelompok teater yang produktif di era tersebut, ada berapa puluh pertunjukan teater dalam setahun, ada berapa puluh naskah teater yang diciptakan dalam setahun, ada berapa buku teater yang berhasil diterbitkan pada era itu? Kalau cara mengukurnya dengan kualitas pertunjukan; ada berapa kelompok teater yang karyanya meningkatkan wibawa teater Sumut, apakah teater Sumut di era itu menjadi barometer perkembangan teater di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini akhirnya tersesat dalam memori gelap romantisme teater Sumut.
Untuk membuka memori gelap ini, saya kembali membaca buku Muhammad TWH yang membahas Sejarah Teater dan Film di Sumut sejak masa sebelum kemerdekaan hingga tahun 1990-an. Begitu heroiknya tulisan tersebut, namun kenapa bisa mencapai antiklimaks ketika memasuki abad 21?
Saya pernah membaca sekilas kejayaan Teater Que, dalam buku Antologi Tubuh yang ditulis Afrizal Malna. Selebihnya jejak puncak produksi kelompok-kelompok teater Sumut tersebut seperti dongeng saja.
Atau, apakah teater Sumut tidak memiliki tradisi literasi untuk menceritakan tubuhnya sendiri?
Saya tidak ada maksud untuk menafikkan perjuangan para penggiat teater di era 1970-1990-an. Respon tulisan ini terhadap paparan yang disampaikan abangda Suheri Sasmita sebagai otokritik terhadap kegelisahan saya pribadi melihat stagnannya perkembangan teater Sumut di era Revolusi 4.0 ini.
Saya banyak mendengar kabar betapa dinamisnya kelompok-kelompok teater di era 70-90-an itu. Namun sedikit sekali artefak teater yang dapat digali ulang keberadaannya. Hanya dalam dua dekade, semuanya musnah. Taman Budaya Sumatera Utara sebagai sumber produktifitas teater itupun tak mampu menampilkan jejak-jejak yang dapat digali kembali.
Jadi, saya meragukan bahwa era 1980-1990-an adalah puncak produktifitas kelompok-kelompok teater Sumut. Mungkin era itu adalah fase pembentukan fondasi teater Sumut, namun sebelum tegak, runtuh kembali. Itu yang harus kita evaluasi bersama. Kemudian kegelisahan saya merambat ke arah yang lebih mendasar; bentuk fondasi bagaimana yang dibangun para penggiat teater Sumut di era 1980-1990-an itu hingga begitu mudahnya runtuh ketika memasuki abad baru?
Harus diakui pada era tersebut para penggiat teater lupa membangun Pusat Data dan Dokumentasi Teater Sumut.
Akhirnya untuk membongkar memori gelap teater di Sumut ini, saya harus menggali referensi-referensi yang lebih jauh di luar tubuh teater wilayah saya sendiri. Kita harus keluar dari memori gelap yang menyeret ke lubang romantisme teater; seakan telah mencapai puncak, tapi ternyata masih melangkah sejengkal jarak.
===
Penulis adalah Pimpinan Teater Rumah Mata dan Sekjend Komunitas Sastra Masyarakat Binjai.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 pixel) Anda ke [email protected].