Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Berbicara pariwisata, sesungguhnya tidak lepas dari cita rasa dan imajinasi. Kesan apa yang didapat wisatawan, kalau kesannya mendalam, orang akan kembali datang, dan akan terus berulang, sampai kalau orang itu tidak datang ada sesuatu yang kosong di dalam diri orang itu. Karena itulah sebabnya untuk mengisi kekosongan itu wisatawan rela menempuh perjalanan cukup jauh dari asalnya dan mengeluarkan biaya yang cukup besar hanya untuk mengisi kebutuhan itu.
Sumatra Utara memiliki banyak daya tarik wisata, baik wisata alam, wisata budaya,. Dengan banyaknya budaya yang hidup di Sumatra Utara, juga
terdapat banyak wisata kuliner dan wisata religi. Danau Toba dan sekitarnya salah satu destinasi wisata yang sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai destinasi super perioritas untuk dikembangkan. Bersamaan dengan itu, UNESCO juga telah menetapkannya sebagai geopark, adalah satu kesempatan bagi masyarakat Sumatra Utara.
Selain Danau Toba, banyak terdapat daya tarik wisata lainnya, seperti wisata bahari di Nias, Tapanuli Tengah, Deli Serdang, wisata religi, budaya dan kuliner di Kota Medan dan berbagai kota lainnya. Wisata agro di dataran tinggi Karo dan Dairi, dan wisata alam lainnya misalnya Bukit Lawang di Langkat.
Namun apabila kita saksikan, destinasi-destinasi tersebut belum dikembangkan sedemikian rupa. Terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara rata-rata baru mencapai 260.000 orang setahun. Belum sebanyak kunjungan wisman ke Bali yang sudah mencapai 6 juta orang per tahun. Kontribusi sektor pariwisata ke PDRB Sumut juga masih rendah, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar objek-objek pariwisata tersebut belum begitu membaik.
Tentu pertanyaan yang perlu dimunculkan adalah, cita rasa apa yang dapat disuguhkan kepada wisatawan agar wisatawan dari berbagai penjuru mengunjungi objek-objek wisata di Sumatra Utara? Apakah cukup dengan mengandalkan Danau Toba dan kalderakalderanya saja? Apakah cukup dengan mengandalkan surfing dan pantai-pantai yang terbentang di Sumatra Utara?
Kita mungkin bisa sepakat bahwa Danau Toba dan panorama alam lainya sangat indah. Tapi ada banyak danau, ngarai dan pemandangan alam, objek bahari yang indah di tempat-tempat lain juga. Jadi kenapa orang harus datang Sumatra Utara untuk berwisata?
Disinilah perlu mengemas semua ide-ide kreatif sedemikian rupa untuk dapat memberikan cita rasa yang dalam bagi wisatawan untuk
berkunjung ke Sumatera Utara. Tidak cukup dengan mengandalkan objek wisata alam yang sudah ada, perlu sentuhan dan eksplore yang lebih dalam. Peran anak-anak muda yang kreatif, para seniman, budayawan perlu membangun ide-ide kreatif untuk mengeksploer potensi pariwisata yang ada agar memiliki cita rasa yang tinggi.
Kalau kita mau belajar dari pariwisata Bali, dimana pariwisata Bali itu di mulai tahun 1930, dengan hadirnya para peselancar untuk bermain surfing di sana, berkembang terus sampai saat ini menjadi beragam jenis daya tarik dan atraksi pariwisata, bukan lagi hanya surfing. Salah satu kekuatan pariwisata Bali bisa bertahan dan bisa berkembang tidak terlepas dari budaya Bali yang eksotik. Kehidupan tradisional yang kuat yang tercermin
dari arsitektur dan seni Bali yang memiliki nilai estetika yang tinggi, membuat pariwisata Bali menjadi terkenal dan berkembang. Tanpa balutan budaya dan seni, pariwisata akan terasa kering dan gersang, budaya dan seni adalah jiwa dari pariwisata, dengan budaya dan seni, pariwisata akan menjadi hidup.
Karena itu, untuk memajukan pariwisata Sumatra Utara, faktor budaya penting diperkuat untuk menjadi jiwa dari pariwisata itu sendiri. Budaya yang hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat akan menjadi suguhan atraksi yang hidup. Menggelar berbagai festival budaya dan festival lainnya secara reguler maupun yang ‘live’ di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai bagian integral kehidupan sosial masyarakat perlu dieksplore sedemikian rupa. Karena itu, pengembangan pariwisata haruslah direncanakan secara integratif dan holistik. Tidak hanya memastikan terbukanya akses yang cepat dan aman ke destinasi-destinasi wisata yang ada, tersedianya infrastruktur pendukung yang memadai, akomodasi yang memenuhi standar, juga budaya dan perilaku masyarakat yang harus mendukung pariwisata itu sendiri.
Misalnya kita melihat di sekitar Danau Toba marak bangunan-bangunan yang membelakangi danau, warung-warung yang tidak beraturan muncul di tepi danau, sehingga pemandangan danau menjadi tertutup dan kondisi sekitar menjadi kumuh. Karena itu perlu ditata, agar bangunan masyarakat menghadap ke danau. Danau harus menjadi teras, dan bagaimana mengatur sistim limbah agar tidak masuk dan mencemari danau. Pembangunan akomodasi tidak harus mengharapkan hotel-hotel berbintang dengan mengundang investor dari luar, tetapi bagaimana memberdayakan rumah-rumah masyarakat sekitar sebagai akomodasi dengan konsep home stay, sehingga masyarakat langsung menjadi pelaku pariwisata.
Keberadaan keramba-keramba ikan dan industri perikanan di sekitar Danau Toba, harus benar-benar dilarang dan tidak dibenarkan. RT/RW harus mengatur yang sedemikian itu, dan dikendalikan di lapangan terhadap pelanggaran tata ruang. Pengembangan perikanan di Danau Toba harus diarahkan untuk perikanan tangkap dengan aktifitas memancing, bukan budidaya perikanan dengan menjamurnya keramba-keramba ikan. Hal yang demikian, berlaku bagi semua destinasi pariwisata lainnya, bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar menjadi pelaku dengan menata keberadaan masyarakat agar selaras dengan peruntukan ruang yang ada, sehingga tercipta lingkungan yang bersih, indah dan nyaman.
Atraksi wisata harus dikembangkan dengan berbagai variasi paket-paket pariwisata, seperti pariwisata agro, mengajak pengunjung tinggal di kebun kopi untuk dapat langsung memetik biji-biji kopi sampai kopi diproses jadi bubuk kopi. Mengajak wisatawan untuk paket wisata menanam padi di sawah, dengan membangun akomodasi di sekitar perkebunan tersebut, ini dapat menjadi daya tarik wisata yang memberikan eksperince bagi wisatawan. Wisata agro, ecoturism dapat dikembangkan di desa-desa sebagai desa wisata yang berbasis masyarakat.
Penglabelan “wisata halal” tidak seharusnya diributkan. Wisata halal bukan berarti menghilangkan kearifan lokal yang ada, atau menghilangkan keyakinan yang berkembang di daerah tersebut, tetapi lebih kepada memberi fasilitasi bagi wisatawan yang beragama Islam, “moeslim friendly”. Kita tahu, untuk pariwisata Sumatra Utara, wisatawan manca negara yang datang masih didominasi dari Malaysia, yang mayoritas Muslim.
Ke depan, wisatawan mancanegara juga bisa ditarik dari Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam. Karena itu pariwisata harus memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan mereka, sehingga mereka dapat menikmati pariwisata, tetapi keyakinan untuk menjalankan ibadahnya tidak terhalangi, misalnya di kamar hotel ada arah kiblat, tersedia sajadah di kamar, tersedia mushola/mesjid dalam jarak-jarak yang bisa diakses, tersedia makanan halal di restoran sekaligus dilayani oleh pelayan yang, beragama Islam, sehingga pengunjung akan sangat nyaman dan dapat menikmati pariwisata sesuai dengan keyakinannya.
Karena itulah pengembangan pariwisata harus direncanakan secara integratif. Kelemahan selama ini, masing-masing jalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi dari hulu sampai hilir, ego sektoral dan ego daerah sangat kuat.
Di sinilah peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sangat diperlukan untuk melakukan fungsi koordinasi kepada semua stake holder, baik swasta, NGO, masyarakat sebagai pelaku-pelaku pariwisata dan pemerintah pusat, serta badan-badan dunia lainnya. Bagaimana Rencana Induk Pariwisata Provinsi harus terintegrasi dengan semua rencana induk pariwisata kabupaten/kota. Bagaimana pemerintah membangun kolaborasi dan elaborasi semua pelaku wisata mulai dari pemilik hotel, restoran, suplier, retailer, pengrajin, penenun, seniman, petani, peternak, sehingga akan terbangun ekosistem pariwisata yang kuat.
Perlu komitmen semua pihak dan bagaimana visi pembangunan daerah harus meletakkan pariwisata sebagai prime mover, penggerak pembangunan di daerah. Pariwisata harus menjadi lokomotif yang akan menggerakkan semua sektor. Pariwisata harus menjadi core. Kita mengetahui, bahwa pariwisata memiliki multi flyer effect yang besar. Apabila sektor pariwisata bergerak, maka ikutannya akan banyak terkerek ke depan. Hal ini akan membuka kesempatan berusaha dan bekerja bagi masyarakat. Inilah yang sekarang disadari oleh banyak negara-negara.
Di Indonesia sendiri banyak daerah-daerah yang sudah menyadari itu. Dalam membangun pariwisata, tidak hanya akan memberikan image bagi turis, tapi yang tidak boleh dilupakan adalah pariwisata juga harus memberikan citra dan harapan bagi masyarakat. Jangan hanya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, hak masyarakat hukum adat, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai greedy tourism.
Pariwisata yang menimbulkkan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan ketimpangan sosial di sekitarnya. Jadi ukuran keberhasilan pariwisata tidak
semata berapa banyak kunjungan wisata atau berapa devisa atau PAD yang dihasilkan dari sektor pariwisata, tetapi sejauh mana masyarakat terlibat dan sejauh mana peluang masyarakat terbuka lebar dengan hadirnya pariwisata tersebut.
Di masa pandemik ini, kesempatan kita untuk membenahi kawasan-kawasan pariwisata di Sumatra Utara. Apabila pandemik berakhir, pariwisata Sumatra Utara sudah dapat blowing, tentunya sudah harus dipersiapkan mulai saat ini. Dengan kepemimpinan Bapak Gubernur Eddy Rahmayadi dengan visi Sumatra Utara yang Bermartabat, pariwisata dapat menjadi salah satu tulang punggung perekonomian daerah. Dengan meningkatkan target kunjungan wisman sampai 1 juta setahun, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sumatra Utara. Tentu harus didukung semua kabupaten/kota, pelaku-pelaku pariwisata dan masyarakat Sumatra Utara.
====
Penulis Pegiat Sosial dan Ekonomi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]