Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BARU-baru ini publik dihebohkan oleh sebuah video seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Australia. Dalam unggahan video tiktok tersebut dia mengkritik jalan-jalan di Provinsi Lampung yang kondisinya sangat rusak tetapi tak kunjung diperbaiki selama bertahun-tahun. Ia menggambarkan bahwa kondisi tersebutlah yang menyebabkan Provinsi Lampung tidak maju maju.
Sontak warganet di tiktok pun ikut mengomentari dan memuji Bima, pemilik akun tersebut, seorang anak muda yang berani bersuara mengenai daerahnya. Setelah videonya viral efek domino pun terjadi. Banyak warga Lampung yang kemudian ikut serta mengunggah kerusakan jalan di daerahnya, sehingga semua video-video tersebut menyebar dan akhirnya menjadi liputan di berbagai media televisi.
Ujungnya, viralnya berita tersebut menjadi bahan omongan masyarakat dan pemerintah. Kabar itu pun sampai ke telinga Presiden Jokowi. Alhasil, Kepala Negara pun turun langsung ke Lampung dan meninjau kondisi jalanan di sana.
Viral, viral, dan viral. Itulah keadaan sekarang. Barulah kemudian pemerintah meresponnya. Di era digital ini, kabar yang viral memang mudah menyebar. Setiap orang menjadi “reporter” lapangan saat menyaksikan sesuatu yang dianggapnya kurang pas. Tetapi sayangnya hanya ketika viral, umumnya respon baru muncul.
BACA JUGA: Konser Coldplay, Media Massa dan FOMO
Tidak usah jauh-jauh. Kasus Ferdy Sambo bisa diusut tuntas karena viral dan banyaknya masyarakat menuntut pemerintah untuk mengusut kasus tersebut sampai tuntas.
Lalu kasus Mario Dandy, anak mantan pejabat pajak juga viral dulu baru kemudian institusi pemerintah bekerja.
Mengapa harus viral dulu?
Viralnya masalah-masalah belakangan ini kelihatannya merupakan refleksi dari kejengahan masyarakat atas dua hal penting.
Pertama, solusi atas masalah. Selama ini banyak keluhan masyarakat minim tanggapan. Dari berita-berita yang kita dengar, viralnya sebuah hal memang karena tertutupnya saluran komunikasi selama ini.
Kita membaca bahwa jalan-jalan yang rusak sebenarnya tidak langsung viral begitu saja. Masyarakat telah menjalani jalan bak kubangan selama bertahun-tahun. Para pejabat pun pasti melewati jalan yang sama. Ironisnya, setiap tahun pastilah ada usulan perbaikan jalan. Nyatanya jalan tetap rusak.
BACA JUGA: Pancasila Filsafat Negara Indonesia
Pemerintah justru kurang memperhatikan fasilitas umum, yang sesungguhnya sangat berdampak bagi masyarakat, misalnya infrastruktur jalan tadi. Padahal, jalan merupakan satu bagian yang harus sangat diperhatikan di masyarakat, karena jalan adalah bagian penting yang setiap hari digunakan masyarakat.
Bukan hanya itu, jalan merupakan faktor pendukung bergeraknya sektor ekonomi masyarakat, bahkan saluran koneksi pembangunan pendidikan, serta sektor terkait lainnya.
Maka daripada menunggu tanpa kepastian, masyarakat memilih “melapor” dengan caranya sendiri. Video, tulisan dan unggahan ke media sosial adalah “laporan” masyarakat kepada pemerintah dengan cara yang berbeda.
Karena manusia memiliki medium sosial untuk berkomunikasi, ketika era digital tiba, dan ada hambatan komunikasi, masyarakat pun menggunakan cara yang berbeda. Respon yang lemah dari penentu keputusan itulah yang menyebabkan masyarakat kemudian menggunakan cara mereka sendiri.
Kedua, respon soal keadilan. Menurut saya wajar masyarakat bersuara melalui media sosial karena akibat kemarahan masyarakat dan sudah kehabisan kesabaran karena kurang baiknya kinerja pemerintah.
BACA JUGA: Pantang Tak Top dan Konser Coldplay
Bukan hanya tentang pemerintah saja, masyarakat juga sekarang lebih memilih bersuara di media sosial untuk mendapatkan keadilan.
Ada begitu banyak masyarakat memviralkan sesuatu, karena ketika mereka melapor kepada pihak yang berwajib dengan mengharapkan akan mendapatkan keadilan, justru yang didapat malah sebaliknya.
Para pejabat yang dalam berita melakukan korupsi dibiarkan bahkan banyak yang mendapatkan kemewahan meski dalam penjara. Sementara masyarakat biasa sering sekali jauh dari mendapatkan kepantasan di mata hukum. Kemana masyarakat mengadu? Ya kepada media sosial. Lagi-lagi seperti itu.
Viralnya berita dari masyarakat harus mengingatkan pemerintah. Pemerintah harus sadar bahwa jaman sekarang masyarakat sudah tidak takut bersuara. Jaman sudah berubah, demo sudah jarang terjadi namun di jaman ini demo justru mendapatkan panggung baru, yaitu media sosial.
Pemerintah harus memiliki kesadaran bahwa di era jaman sekarang segala sesuatu mudah terungkap hanya dalam sekejap. Pemerintah harus menyadari bahwa setiap keluarga di Indonesia, sebanyak 95% sudah memegang android.
Maka ketika ada kekeliruan yang terjadi di pemerintahan dan serasa tidak adil, maka tangan netizen dan pengguna media sosial pun bersuara. Pemerintah harus lebih berhati hati dalam menangani sebuah kasus dan mengambil keputusan, jangan sampai viral dulu baru dikoreksi.
BACA JUGA: Prokontra Konser Coldplay, Bisa Batal?
Ketika ada sesuatu yang keliru maka pemerintah harus siap menerima beragam kritik bahkan harus siap dirujak para netizen Indonesia.
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat diberikan mandat dan kekuasaan untuk mengelola daerah dengan baik. Setiap pemimpin daerah harus melakukan tugasnya masing masing untuk melayani masyarakat, terlebih begerak cepat dalam menangani kebutuhan publik.
Pemerintah harus lebih memperhatikan kebutuhan dan keluhan masyarakatnya. Bukan seperti dulu, pakem pemerintahan sekarang seperti bergerak dalam ukuran detik. Masalah, harus segera ditangani.
Zaman sudah tidak seperti dulu lagi, karena masyarakat pun sudah semakin pintar. Karena itu, pemerintah harus sering turun tangan ke lapangan sehingga masalah dapat diantisipasi sejak dini.
Apakah pemerintah dan penegak keadilan harus selalu di viralkan dulu, baru dikerjakan?
====
Penulis adalah mahasiswa Prodi Antropologi Sosial FISIP USU
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]