Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERSATUAN itu berbeda dengan keseragaman. Hakiki persatuan adalah keberagaman yang larut dalam nuansa persaudaraan, atau dalam istilah Islam dinamai ukhuwah.
Ukuwah dalam Islam pun bukan semata ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam). Ada ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air) dan ada pula ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Ketiga ukhuwah inilah yang kemudian menjadi cikal bakal membangun Islam Rahmatan Lil Alamin atau dalam penafsiran sederhana, Islam yang membawa perdamaian bagi seluruh umat manusia dan alam.
Karena mustahil menghadirkan perdamaian jika hanya membawa misi ukhuwah islamiyah saja tanpa melibatkan ukuwah wathaniyah dan insaniyah. Pun sebaliknya.
Selasa, 26 Juli 2022, di momen Milad ke-47 MUI (Majelis Ulama Indonesia), komitmen merawat ketiga ukhuwah itu digaungkan dalam deklarasi Al-Mitsaq Al-Ukhuwah atau Kesepakatan Persaudaraan.
Tak kurang dari 62 Ormas Islam menyepakati 10 poin penting yang tujuan akhirnya adalah membangun persatuan dalam kebhinekaan.
Milad ke-48 MUI nanti pun akan membawa misi yang sama, dengan mengusung tema besar “Memperkokoh Persatuan dalam Bingkai Keberagaman Menuju Indonesia yang Lebih Sejahtera dan Bermartabat”.
Tema yang secara garis besar masih mengakomodir nilai-nilai persatuan ini membuktikan keseriusan MUI membangun hubungan yang rukun antar umat beragama, antar suku dan bangsa, untuk kemudian larut dalam ruang yang ramah toleransi dan tumbuh subur semangat kegotongroyongannya.
Kiprah MUI dalam merajut persatuan sejatinya telah dimulai bahkan sejak hari pertama didirikan tanggal 26 Juli 1975.
BACA JUGA: Hydropower: Bukti Cinta Kalla untuk Indonesia
Dilansir dari laman mui.or.id, MUI berdiri sebagai hasil dari musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Meliputi 26 orang ulama mewakili 26 provinsi di Indonesia pada masa itu; 10 orang ulama yang merupakan unsur dari Ormas Islam tingkat pusat; 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Polri; serta 13 orang tokoh dan cendekiawan penting di tanah air.
Komposisi ini sudah cukup mencerminkan bahwa MUI hadir untuk mengakomodir aspirasi dari segala penjuru tanah air.
Tumbuh dan berkembang dengan latar belakang Ormas Islam yang mejemuk tapi larut dalam satu majelis, menjadi sebuah keniscayaan bagi umat Islam itu sendiri.
Pasalnya, jika MUI hanya dimotori oleh satu Ormas Islam saja, maka gejolak atas perbedaan pendapat cabang ibadah (khilafiyah furu'iyah) bisa saja merambat hebat sampai pada umat di tingkat akar rumput.
Maka bersatunya ulama, cendekiawan dan zu’ama dalam wadah MUI ini adalah contoh tentang bagaimana kerukunan itu berakar dari internal terlebih dahulu.
Kemudian secara otomatis resonansinya akan sampai di tingkat akar rumput, karena umat percaya ulama adalah penuntun dan pembimbing.
Momen paling kentara berkaitan dengan ini adalah penentuan awal ramadhan, syawal, dan dzulhijjah. Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah telah secara jelas dipahami bahwa metode ru'yah ataupun hisab, keduanya sama-sama boleh dan termaktub dalam fatwa tersebut.
Inilah yang kemudian menjadikan perkara khilafiyah ini tidak lagi menjadi polemik berkepanjangan, tapi justru menjadi pupuk ukuwah islamiyah di tengah perbedaan pandangan.
Kejadiannya tampak nyata di tahun ini. Saat Muhammadiyah dengan metode hisab menetapkan 10 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 28 Juni, pemerintah dan Ormas Islam semisal Nahdlatul Ulama menetapkan 10 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 29 Juni sesuai hasil ru'yah.
Perbedaan ini menjadi indah, tatkala Muhammadiyah dengan tenggang rasa mengimbau warganya untuk mulai menyembelih hewan kurban berbarengan ditanggal 29 Juni.
Kemudian dari kacamata ukhuwah wathaniyah dan insaniyah, MUI menunjukkan betapa seriusnya membangun persaudaraan lintas agama, lintas suku dan bangsa.
Ini diwujudkan MUI dalam peran aktif membangun jembatan dialogis bersama pemeluk agama lain untuk mengikis perbedaan yang berpotensi mereduksi kerukunan.
Langkah ini juga diperkuat dengan ditandatanganinya MoU antara MUI dengan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) tentang Pelaksanaan Sosialisasi Ideologi Pancasila dan Penguatan Kerukunan antar Umat Beragama.
Sejalan dengan keseriusan MUI memperkokoh persatuan dan kerukunan, selaras pula dengan indeks KUB (Kerukunan Umat Beragama) yang selalu dalam koridor baik.
Dilansir dari laman balitbangdiklat.kemenag.go.id, nilai indeks KUB rata-rata nasional tahun 2021 berada di angka 72,39 yang dikategorikan baik.
Kemudian dalam membangun sinergi dengan pemerintah, MUI aktif membantu kerja-kerja pemerintah, terutama menjawab problematika yang bergulir di tengah masyarakat dengan solusi-solusi berupa fatwa.
Contohnya saat pandemi covid-19, banyak keputusan strategis tercipta dari fatwa MUI.
Hadirnya fatwa MUI tentang hukum penggunaan vaksin covid-19; vaksinasi covid-19 dan tes swab saat berpuasa; penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah covid-19 dan lain sebagainya, menjadi jawaban atas kegamangan masyarakat.
Apalagi jika kegamangan ini tidak segera dijawab dengan kultus panduan yang jelas, maka akan menciptakan benih-benih perpecahan yang bersumber dari egosentris.
Meskipun fatwa MUI bukanlah hukum yang mengikat layaknya undang-undang, tapi umat begitu menanti, karena di dalamnya termuat solusi-sulusi konkret yang dasarnya jelas.
Maka tak heran jika hasil survei yang dikeluarkan LSI (Lembaga Survei Indonesia) dan ICW (Indonesia Corruption Watch) tahun 2018 menempatkan MUI sebagai lembaga nonpemerintah yang mendapatkan kepercayaan paling tinggi di masyarakat, dengan tingkat kepercayaan di angka 73%.
Dari sini tampak jelas bahwa MUI sebagai pembimbing yang dipercayai umat, meletakkan kerukunan dan persatuan sebagai modal dasar paling penting dalam membangun kesejahteraan.
Tidak hanya kesejahteraan dalam konteks ekonomi, tapi juga kesejahteraan jiwa atas ketentraman beribadah sesuai dengan agama masing-masing.
Mustahil menghadirkan kesejahteraan ditengah perpecahan. Dan kesejahteraan yang tercipta dalam kerukunan itulah yang akan menjadikan bangsa ini bermartabat. Sebab, tak banyak negara yang bisa semampu Indonesia dalam menyatukan keberagaman yang ada.
====
Penulis Kepala Divisi Pendidikan dan Pengkaderan Perkumpulan Garuda Sylva.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbdmedanbisnisdaily.gmail.com