Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MEMBANGUN Indonesia dimulai dari desa merupakan ambisi pemerintah di era Joko Widodo saat ini. Melalui program dana sesa yang telah dimulai sejak 2015 dengan dana awal Rp 21 triliu itu; telah berkontribusi mendorong pembangunan yang cukup signifikan bagi desa. Sejauh ini sudah Rp 72 triliun dana APBN digelontorkan dengan rata-rata tiap desa mendapatkan sekitar Rp 1 miliar. Berkat dana desa juga kesadaran masyarakat untuk bergotong-royong dan berpartisipasi dalam perkembangan desa kian aktif.
Sebelumnya pemilihan kepala desa tak pernah seriuh dan semeriah beberapa tahun belakangan. Setelah adanya dana desa, masyarakat kini berlomba-lomba untuk mengkampanyekan dirinya, orang-orang di sekitarnya, atau sanak familinya untuk menjadi orang nomor satu di desanya. Dengan kata lain, program ini tidak hanya membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi desa, namun juga dalam meningkatkan kesadaran akan arti penting demokrasi.
Walau begitu, untuk mewujudkan sebuah desa yang mandiri secara sosial, berbasis kebudayaan merupakan tantangan yang berbeda. Sebab dalam diskursus membangun desa, bukan hanya berlandaskan atas pemenuhan properti pendukung seperti infrastruktur.
Yang paling penting diperhatikan adalah kesejahteraan sosial masyarakat yang berkesinambungan, yang berdasarkan pendekatan identitas kultural, menjaga biodiversitas dan lingkungan hidup, serta menghidupkan keadilan pada peningkatan kualitas hidup dari generasi ke generasi selanjutnya.
Implementasi Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah disusun dalam agenda pembangunan dari dokumen "The Future We Want” di Sidang Umum PBB 2015 silam merupakan rangkuman dari kesepakatan 186 negara untuk bersama-sama mewujudkan wajah dunia yang lebih baik, terutama dalam menjaga ekosistem lingkungan hidup. Program ini merupakan lanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs) yang berfokus pada pengentasan kelaparan dan kesetaraan gender.
Ada alasan mengapa fokus pada pembangunan prioritas SDG's mengacu pada faktor pelestarian lingkungan dan biodiversitas. Sebab kondisi tutupan hutan sudah semakin renggang. Pencemaran limbah industri baik air, udara dan tanah sudah semakin mengkhawatirkan. Sementara reboisasi hutan minim dilakukan. Terlebih nilai-nilai sosial dalam melestarikan budaya dan kepedulian sosial semakin berkurang. Pun disaat yang sama, tujuan dari MDG’s tak berjalan dengan efektif.
Sedikit cerita menarik kala penulis beserta rombongan berkunjung ke salah satu desa yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah. Akses jalan ke desa tersebut sangat sulit, bahkan jalannya belum dilapisi oleh aspal. Saat itu penulis bertemu dengan seorang pemuda setempat—kira-kira berumur 20 tahunan—yang sedang menjaga kendaraan pengunjung objek wisata air terjun desa. Desa tersebut bersebelahan dengan Harangan Tapanuli (Hutan Batang Toru). Sehingga terdengar sayup-sayup dari kejauhan suara Siamang—kera berwarna hitam--yang memenuhi sunyinya suasana desa. Seketika saya melihat sekeliling, dan baru menyadari banyak pohon-pohon yang telah diganti menjadi tanaman budidaya, yaitu pohon petai, sawit dan karet.
Penulis sempat bertanya kepada si pemuda keberadaan pohon-pohon besar. Ia berkata, bahwa semua pohon besar kini hanya tersisa jauh di dalam hutan termasuk yang mahal-mahal, katanya. Penulis terkejut ketika ia bilang “mahal-mahal”. Untuk menebus rasa penasaran itu penulis lantas bertanya, alasan mengapa ia tahu bahwa pohon-pohon itu mahal. Dia berkata, “banyak dulu disini bang”. “Lantas mengapa kau tak mengambilnya lagi?” Tanya penulis sambil keheranan. “Terlalu jauh”, katanya dengan santai.
Sangat disayangkan, pemahaman akan pentingnya menjaga hutan masih kurang disadari oleh masyarakat. Pemuda diatas adalah representasi ketidakpahaman akan pentingnya menjaga ekosistem hutan. Andaikan si pemuda itu paham, tentu akan bergesekan dengan kebutuhan sehari-hari yang menuntutnya untuk mendapatkan penghasilan. Alhasil karena lapangan kerja di desa terbatas, maka mau tidak mau ia harus memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal itu juga yang menjadi pelumas gesekan antara manusia dan hewan liar semakin sering terjadi.
BACA JUGA: Monopoli, Persaingan Usaha Tidak Sehat dan KPPU
Untuk mewujudkan tercapainya sasaran SDGs dalam prioritas pembangunan nasional di desa, perlu adanya sinergitas antara kebijakan perencanaan di tingkat nasional dan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Akan menjadi mustahil apabila rencana pembangunan berseberangan pada kebijakan pembangunan daerah.
Untungnya target-target SDGs dipilih menjadi landasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana aspek pembangunan struktur perekonomian berlandaskan keunggulan kompetitif dengan sokongan sumber daya manusia, dengan memanfaatkan bonus demografi yang berasal dari desa.
Mewujudkan Desa yang Ramah Hutan
Desa merupakan bagian dari wilayah negara yang kebanyakan langsung berdampingan dengan hutan. Ekosistem asli hutan akan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat desa memanfaatkan hutan dengan semestinya—tanpa menambahi atau mengurangi dari volume hutan. Memanfaatkan desa sebagai pusat dari ekowisata juga berarti melibatkan hutan di dalam program tersebut. perlu kiranya suatu terobosan yang konkrit dari pemerintah bagi masyarakat desa dalam menjaga keberlangsungan ekosistem hutan.
Mengacu pada program Perhutanan Sosial yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan berlandaskan 3 pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia. Nyatanya, program yang telah digaungkan sejak tahun 1999 ini, tetap sangat sulit untuk dilakukan. Lagi-lagi terhambat pada pemahaman masyarakat yang minim, serta verifikasi ruwet karena terbagi-bagi dalam lima skema pengelolaan yaitu: Skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan dengan syarat-syarat berbeda.
Sosialisasinya pula lambat berjalan. Dimana baru sekitaran 5.000-an kelompok yang terbentuk per 2019. Senmentara jumlah desa di Indonesia mencapai 81.616 desa per tahun 2021. Lantas mengapa tidak disederhanakan saja? Human Development Index (HDI) memperlihatkan dari 189 negara, Indonesia hanya menduduki peringkat 111 pada tahun 2019. Nilai HDI yang dicatatkan adalah 0,707; dengan tingkat harapan pendidikan 12,5. Sementara Thailand dan Malaysia jauh mengungguli posisi Indonesia dengan rangking masing-masing 77 dan 61.
Memang Jika melihat dari Gross National Product (GNP), Indonesia meningkat tajam sejak 5 tahun terakhir. Tapi bukan berarti hal itu menjamin bahwa pertumbuhan nasioanal berada pada jalur yang tepat. Lagi-lagi, ini bukanlah kompetisi untuk beradu siapa yang mendapat paling banyak. Tetapi siapa yang mampu menghadirkan kondisi seideal mungkin bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pendidikan juga seharusnya tidak lagi bertumpu pada mata pelajaran formal. Melainkan lebih menekankan pada ajaran dalam menghargai sesama, budaya dan juga lingkungan hidup. Setidaknya inilah yang dapat kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan.
====
Penulis aktif sebagai volunteer di Lembaga Advokasi dan Kebijakan ELSAKA SUMUT.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]