Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Beberapa hari lagi bangsa ini akan memperingati hari kemerdekaan yang ke-75. Sama seperti ditahun sebelumnya, ada sebuah pertanyaan mendasar yang muncul jika bangsa ini merayakan hari bersejarah tersebut, yakni tentang apakah benar kemerdekaan sudah dirasakan rakyat dalam kehidupan sehari-harinya.
Pertanyaan antitesis di atas muncul karena masih banyak kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat dan menjadi kewajiban kita bersama untuk mendefinisikannya serta mencari solusinya. Sebagai sebuah negara yang mengaku sebagai sebagai bangsa yang besar, tentu rasanya memalukan jika di umur yang sudah cukup dewasa ini, ternyata masih banyak rakyat yang merasakan ketertindasan seperti di zaman kolonial. Indikatornya tentu kemakmuran dan keadilan.
Berbicara tentang kemakmuran, maka kita mengamini jika Indonesia merupakan negeri yang diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah. Sebuah modal dasar yang semestinya dapat dipergunakan untuk menciptakan kemakmuran.
Namun seperti yang kita ketahui, di negeri ini, kemakmuran ternyata hanya milik segelintir orang-orang yang beruntung. Bisa merupakan kelompok yang dekat dengan kekuasaan, serta bisa juga merupakan kelompok yang dekat dengan akses ekonomi. Di luar itu maka diperlukan upaya ekstra keras agar bisa ikut mencicipi kemakmuran.
Kita ambil satu contoh misalnya bagaimana susahnya masyarakat awam untuk mendapatkan akses ke lembaga keuangan, yang merupakan salah satu elemen penting dalam upaya meningkatkan perekonomian.
Memang dalam hal ini kita harus mengakui bahwa pemerintah sudah membuat suatu kebijakan terkait akses modal kepada masyarakat awam, melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Yakni pinjaman modal usaha berbunga rendah yang diharapkan mampu menumbuhkan bibit-bibit usaha yang sebelumnya sudah dirintis oleh masyarakat.
Namun di sisi lain KUR juga merupakan pisau bermata dua, yakni dapat menjadi vonis yang mematikan terhadap pelaku usaha yang gagal menyelesaikan kreditnya. Diberikan catatan hitam, dan tertutup kesempatannya untuk mendapatkan bantuan pembiayaan. Bahkan untuk sekadar mengajukan kredit kepemilikan sepeda motor saja pun akan ditolak oleh lembaga pembiayaan. Dalam hal ini negara atau lembaga keuangan bersikap cukup keras terhadap masyarakat awam. Padahal nilai kredit yang diberikan pun, dapat dikatakan kecil (KUR perorangan maksimal 25 juta). Tanpa kompromi, tak ada kesempatan kedua.
Bandingkan misalnya dengan para penjahat kerah putih yang selama ini juga menggarong keuangan negara. Hampir sebagian besar lolos dari sanksi administrasi maupun lolos dari sanksi hukum. Salah satunya karena mereka dekat dengan pemegang kekuasaan. Banyak contoh yang bisa disebutkan, misalnya kasus Edi Tansil, BLBI, Bank Century, dan yang teranyar adalah kasus Jiwasraya dan dana Asabri.
Jika dibandingkan besaran kerugian negara yang disebabkan kredit macet (KUR) dengan kasus-kasus di atas, maka ibarat membandingkan langit dengan bumi. Total Kredit macet KUR sejak tahun 2015 hingga sekarang hanya sekitar 1,23% dari total sekitar Rp 450 triliun yang sudah disalurkan. Artinya tidak lebih besar dari kerugian negara yang disebabkan oleh kasus Bank Century.
Itu sedikit contoh kebijakan dibidang ekonomi, yang penerapannya keras ke bawah namun lunak ke atas. Sehingga upaya untuk menciptakan kemakmuran belum terlaksana secara optimal.
Sekarang kita bahas sedikit dari sisi hukum sebagai representasi dari rasa keadilan masyarakat. Berbicara mengenai hukum tentu tak lepas kaitannya dengan Lembaga Pemasyarakatan (LP), yang merupakan muara dari sistem penegakan hukum.
Kita tahu hampir seluruh LP di negeri ini, dewasa ini mengalami over kapasitas akibat banyaknya penindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun apakah besarnya kuantitas penindakan tersebut sudah mencerminkan kualitas penegakan hukum di negeri ini.
Hati nurani yang jujur tentu akan menjawab, tidak. Kenapa saya katakan demikian, karena faktanya penegakan hukum yang cukup besar tersebut, mayoritas menyasar kepada pelaku tindakan pidana narkoba. Presentasenya lebih dari 80?.
Pertanyaannya apakah dengan begitu banyaknya pelaku yang berhasil ditindak sudah berbanding lurus dengan meredupnya peredaran narkoba di tengah masyarakat. Sekali lagi jawabnya adalah, tidak. Oleh karena itu maka saya berani mengatakan bahwa mayoritas penghuni LP yang terkait dengan narkoba adalah para pelaku penyalahgunaan narkoba. Bukan bandar, bukan juga 'bos besar' yang sebenarnya lebih pantas berada dibui.
Tentu muncul pertanyaan, mengapa bisa demikian? Berhembus kencang bisik-bisik di masyarakat, tentang kekuatan uang para bandar. Ya, dengan kekuatan uangnya para bandar kerap lolos dari penindakan yang seharusnya dilakukan para aparat hukum. Upeti yang mereka berikan disinyalir menjadi sumber kemakmuran bagi aparat penegak hukum. Sulit memang untuk bisa membuktikannya, namun gampang untuk merasakannya.
Sebuah fakta akan saya ceritakan di sini. Alkisah pada 2017, seorang berinisial IS, biasa dipanggil Torus yang berprofesi sebagai juru parkir di Pasar Glugur Rantauprapat, ditangkap usai membeli narkoba jenis sabu seharga Rp 100.000. Setelah disidik kemudian lanjut didakwa dan dituntut, rakyat kecil ini akhirnya divonis 7 tahun penjara, oleh 'yang mulia' hakim yang mengadili.
Karena pengetahuannya yang terbatas tentang hukum, Torus tidak mengajukan banding, walau merasakan suatu ketidakadilan. Sampai sekarang, ia masih harus menjalani masa hukumannya tersebut. Dan bandar tempat Torus membeli sabu tersebut lolos jeratan hukum karena merupakan kaki tangan, dari 'bos besar' yang selama ini rajin memberi upeti.
Menurut Anda, apakah adil rasanya hukuman kepada 'wong cilik' tersebut ? Bukankah logika awam sekalipun akan mengatakan bahwa narkoba seharga 100.000 besar kemungkinan memang untuk dipakai. Janggal rasanya jika untuk berdagang ia hanya 'belanja' 100.000. Di berkas dakwaan pun disebut jika narkoba tersebut memang hendak dipakainya.
Lalu jika logika dan fakta mengatakan demikian mengapa aparat hukum tega memvonis seorang ayah yang belum pernah dihukum, dengan pidana penjara selama 7 tahun. Dimana pertimbangan kemanusiaannya. Padahal undang-undang mengamanatkan agar pemakai narkoba dimasukkan ke panti rehabilitasi.
Hal ini membuktikan, aparat penegak hukum memang menutup mata terhadap rasa keadilan yang menjadi tanggungjawab nya. Terus terjadi, berulang-ulang hingga saat ini. Idiom yang menyatakan hukum tumpul keatas namun tajam ke bawah, kembali menunjukkan buktinya. Dan lagi-lagi 'si miskin' yang selalu harus merasakannya. Termasuk keluarga atau orang-orang disekitar kita.
Kalau demikian, apakah benar kemerdekaan yang sesungguhnya sudah kita rasakan? Apa gunanya perayaan yang sudah 75 kali tersebut?
Atau, apakah panjat pinang dan lomba makan kerupuk, sudah cukup menyenangkan hati kita semua?
====
Penulis seorang jurnalis tinggal di Rantauprapat
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]