Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PENYUNTIKAN vaksin Covid-19 dosis perdana sudah dilakukan kepada presiden kita Joko Widodo pada 13 Januari 2021. Kemudian dilanjutkan 27 Januari 2021 penyuntikan dosis yang kedua. Kedua kegiatan itu disiarkan secara langsung lewat kanal youtube Sekretariat Presiden yang dipandu dr Reisa Broto Asmoro.
Pada saat itu juga dr Reisa memaparkan tujuan suntikan vaksin dosis pertama dan kedua yang dilakukan dengan tenggang waktu empat belas hari. Dosis pertama ditujukan untuk memicu respon kekebalan awal. Dosis kedua bertujuan menguatkan respon imun yang telah terbentuk sebelumnya. Dan keduanya bekerja secara optimal setelah empat belas hari hingga dua puluh delapan hari setelah dosis kedua disuntikkan.
Kabar ini tentu akan sanggat menggembirakan bagi kita semua. Tetapi pernahkah kita sebagai guru menanyakan hal ini, Apakah juga menggembirakan siswa kita?
Sebagai guru saya pun tertarik menanyakan ini kepada siswa. Dan meminta beberapa rekan guru di luar lingkungan saya bertanya hal serupa. Awalnya saya ajak mengabarkan hal ini kepada anak didik dengan membagikan link - link informasi vaksinasi Covid-19. Kemudian menanyakan mereka,”Apakah sudah lega karena vaksin sudah ada dan akan segera tiba? Bukankah kamu sudah tidak sabar untuk pembelajaran tatap muka?
BACA JUGA: Deskripsi Penugasan Akhir di Google Classroom
Jawaban mereka di luar dugaan. Karena sempat berpikir ini hal yang dinanti. Setelah mengumpulkan semua sampel opini siswa yang diperoleh dengan bertanya rileks, ternyata kurang lebih jawabannya sama. Mereka (siswa) sudah merasa nyaman dengan situasi saat ini. Mereka sudah lebih menyukai pembelajaran secara online. “Gak usah vaksin bu, lebih nyaman begini. Online saja!” Berikut beberapa alasan mereka yang mendominasi. Paparan yang cukup membuat kecut hati sebenarnya, baik sebagai sebagai guru maupun orangtua. Namun, mari berefleksi!
Sekolah Tatap Muka Melelahkan
Beberapa siswa menyatakan sekolah tatap muka sangat melelahkan karena harus bangun pagi sekali supaya tidak terlambat ke sekolah. Selama di sekolah akan duduk sepanjang hari menyimak pembelajaran dan menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Waktu istirahat hanya sebentar. Jika sudah selesai sekolah harus dilanjutkan les atau bimbel (bimbingan belajar) . Di tempat bimbel kembali belajar dan menyelesaikan PR sekolah hingga menjelang malam. Sesampai di rumah tinggal makan malam dan tidur. Membosankan bukan?
Sebenarnya secara fisik mereka tidak lelah. Tetapi merasa sangat penat dengan rutinitas yang monoton. Tidak ada waktu dan tenaga yang tersisa untuk minat mereka. Lain lagi menjelang ujian, maka waktu bimbel pun makin diperpanjang. Akhirnya belajar menjadi keterpaksaan. Menjadi jauh dari slogan merdeka belajar yang digencarkan oleh Pak Nadiem selaku menteri pendidikan di pengarahan – pengarahannya. Belajar tidak lagi sebagai kebutuhan dan penggenapan hak seseorang dalam hidupnya. Kita memaksakan anak belajar seperti rutinitas kantor kita. Mari bapak/ ibu guru dan para orang tua kembali flashback sejenak. Maukah masa muda seperti anak kita sekarang? Ataukah kita dengan bangga cerita, “ Dulu bapak waktu masih muda begini…”
Ujian pada Saat Tatap Muka Menegangkan
Bukan hal baru lagi terlihat sangat tegang saat menghadapi ujian di sekolah. Tegang karena tatapan guru sebagai pengawas ujian. Tegang karena standar pencapaian yang ditetapkan sekolah. Tegang oleh berbagai peraturan lainnya. Dan satu hal lagi, tegang karena merasa di adu kemampuan dengan siswa lainnya.
Kita lupa keberagaman juga ada pada kemampuan, lucu jika kita harapkan seragam. Ujian online tentu tidak semenegangkan di sekolah. Sumber belajar menghadapi ujian juga beragam dapat dihadirkan seperti Google, Youtube . Jadi tak perlu hapalkan semuanya. Asal memahami saja materinya, sumber untuk melengkapi jawaban dapat dicari.
Saat ujian di rumah tidak perlu melihat fisik teman sebagai saingan. Ini tamparan keras bagi kita guru. Bagaimana tidak? Ujian harusnya menjadi alat untuk melihat ilmu yang kita bagi sudah terserap atau belum. Malah berubah haluan menjadi vonis ketidakmampuan bagi siswa. Tugas kita memboboti, bukan vonis hukum mati. Nah inilah yang perlu dihayati kita para guru mengapa akhirnya ujian nasional (UN) berubah menjadi asessmen nasional (AN).
Nilai Jelek Mama Marah, Tak Sekolah Papa yang Marah
Jika kembali sekolah seperti normal, banyak siswa yang takut dengan dengan ujian offline. Nilai jelek mama marah, tak sekolah papa yang marah. Karena ketakutan yang tak berdasar, sekolah menjadi momok yang menakutkan. Belajar kembali menjadi keterpaksaan. Belajar bukan kewajiban. Harusnya belajar adalah hak. Setiap siswa harus menyadari belajar adalah sesuatu yang harus mereka dapatkan. Sebagai modal persiapan masa depan yang matang dan siap dengan banyak peluang baik. Bukan karena takut mama marah atau papa marah.
Sekolah Online Memberi Peluang untuk Mengasah Ketrampilan yang Menghasilkan
Bagi anak – anak dengan perekonomian menengah ke bawah, sistem online malah menguntungkan perekonomian keluarga. Ada yang membantu oran gtua jalankan usaha keluarga. Ada juga yang bekerja ke orang lain. Dan malah ada yang membangun usaha sendiri sejak corona melanda.
Kreatif bukan? Anak ikut bekerja, itu lumrah saja, selama tidak menghilangkan hak belajar si anak dan masih dalam batas kemampuanya. Yang menjadi masalah, jika karena bekerja anak harus kehilangan hak belajarnya. Dan jika harus belajar tatap muka kembali, dia kehilangan kesejahteraan hidupnya. Ahhh….bagaimana sekolah akhirnya mereka simpulkan menjadi tembok penghalang kesejahteraan?
Mari kembali bercermin bapak/ibu guru dan orang tua peserta didik. Akhirnya mau tidak mau, suka tidak suka kita harus terus beradaptasi dan dinamis dengan perkembangan zaman. Kembalilah hadir memberi dukungan belajar kepada anak-anak dengan terus ikut belajar. Jangan memaksakan kehendak kita sebagai penggemar The Beatlles ataupun Westlife, padahal anak kita sudah ada BTS dan Black Pink. Merdeka Belajar!
====
Penulis adalah seorang pendidik di Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]