Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERAYAAN Imlek di Indonesia sering dikaitkan dengan Gus Dur. Ada banyak alasan untuk mengaitkan Gus Dur dengan Imlek, antara lain
karena ketika Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia, ia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Ada Istiadat Cina. Sebenarnya kita pun patut mengaitkan Imlek dengan Ibu Mega dan Pak SBY, sebab kedua Presiden ini telah berkenan melengkapi keputusan Gus Dur.
Dalam keputusan presiden itu disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dirasakan oleh warga negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang-geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya. Melalui pemberlakuan keputusan presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 ini dinyatakan tidak berlaku. Penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina pun dapat dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus.
Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967, antara lain disebutkan bahwa bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia, sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar. Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.
BACA JUGA: Hukum sebagai Proses Investasi
Ketika Ibu Megawati menjadi Presiden Republik Indonesia dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2020 tentang Hari
Tahun Baru Imlek. Dalam Keputusan Presiden ini antara lain disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hekekatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Tahun Baru Imlek merupakan tradisi masyarakat Cina yang dirayakan secara turun-temurun di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga dipandang perlu menetapkan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional.
Selanjutnya, pada 19 Januari 2001 Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Kemudian mulai tahun 2002, Hari Raya Imlek menjadi Hari Libur Nasional berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 461 Tahun 2002, Nomor Kep-15/MEN/2002, Nomor: 01/SKB/M/PAN/XI/2002 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2002 dan 2003. Keputusan itu berlanjut sampai sekarang, sehingga Tahun Baru Imlek tahun ini yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2021 pun merupakan hari libur nasional.
Ketika Pak SBY menjadi Presiden Republik Indonesia dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor se-06/pres.kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Dalam Keputusan Presiden ini dikatakan bahwa Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 yang pada pokoknya mengganti penggunaan istilah "Tionghoa/Tiongkok" dengan istilah "Tjina" telah menimbulkan dampak psikososial diskriminatif dalam relasi sosial yang dialami warga bangsa Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa. Pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu pada dasarnya melanggar nilai, prinsip, perlindungan hak asasi manusia, karena itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Selain itu, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu untuk memulihkan sebutan yang tepat bagi Negara People's Republic of China dengan sebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok.
Perlu diingat pula ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan, para perumus Undang-Undang Dasar tidak menggunakan sebutan Cina melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Keputusan Presiden SBY ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor
SE-06/Pres.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni 1967. Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, tidak dapat disangkal bahwa perhatian dan keputusan Gus Dur terhadap orang dan/atau komunitas Tionghoa sangat besar, tidak terbatas mengenai Imlek. Akan tetapi, patutlah kita mengingat perhatian dan keputusan Ibu Megawati dan Pak SBY juga dalam melengkapi perhatian dan keputusan Gus Dur. Terima kasih kepada Gus Dur, Ibu Megawati, dan Pak SBY yang telah memungkinkan kita merayakan Imlek bersama-sama secara leluasa.
Selamat Tahun Baru Imlek 2021! Semoga Tahun Baru Imlek 2021 memberi kita kebagiaan dan kemakmuran!
====
Penulis Alumni Lemhanas RI, Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) Universitas HKBP Nommensen Medan, dan Peneliti di Pusat Studi Parameter Nusantara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]