Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KITA tidak percaya kata-kata, kita lebih percaya aksi-aksi. Begitu cuitan seorang teman ketika mengomentari status Presiden Amerika Serikat, Joe Biden di media sosial Twitter beberapa waktu lalu tentang tantangan kolektif kita mengatasi perubahan iklim sebagai ancaman eksistensial umat manusia. Tidak berbeda dengan pemimpin dunia lainnya yang berkomitmen untuk menghentikan penggundulan hutan dan pemeliharaan hutan sebagai komitmen bersama ketika Konferensi Para Pihak (COP ke-26), Glasgow, Skotlandia (1-12/11/2021).
Jika hal ini ditarik ke level domestik, sesungguhnya kita sebagai warga negara sangat menantikan aksi konkret pemerintah dalam menghentikan kerusakan lingkungan di tanah air. Misalnya, kerusakan lingkungan di Kawasan Danau Toba.
Sampai sekarang virus utama penyebab kerusakan kawasan ini masih belum terselesaikan. Padahal Danau Toba sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (2008), satu dari lima destinasi superprioritas nasional dan internasional (2019), dan UNESCO Global Geopark (taman bumi) Kaldera Toba (2020), yang saat ini infrastrukturnya terus dibenahi.
Tidak ada korelasi positip antara pembiaran ekploitasi kawasan hutan atau pencemaran danau dengan pariwisata mendunia. Sebaliknya, justru kontradiktif.
Dalam era pandemi Covid-19, bahkan hanya destinasi yang memenuhi aspek kelestarian lingkunganlah tujuan wisatawan global. Pemerintah dan para pihak sebenarnya telah mengetahui hal ini, tetapi pemerintah belum berani mengambil aksi nyata menghentikan eksploitasi lingkungan di kaldera Danau Toba.
Penyelesaian masalah kerusakan lingkungan Danau Toba itu berada di level pemerintah pusat atau lebih tepatnya Presiden. Sebab izin perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan Danau Toba adalah dari pemerintah pusat. Itulah sebabnya Togu Simorangkir dan 10 orang lainnya atau dinamakan Tim 11 sampai rela melakukan aksi jalan kaki sejauh 1.700-an km menemui Presiden Jokowi, dimulai dari Istana Sisingamangaraja XII Balige, Kabupaten Toba hingga ke Istana Presiden, Jakarta, (Kompas, 6/8/2021).
Tujuan Tim 11 adalah meminta Presiden Jokowi turun tangan langsung menghentikan kerusakan lingkungan di kaldera Toba dan mengembalikan tanah ulayat masyarakat adat yang diklaim perusahaan sebagai wilayah konsesinya. Presiden Jokowi ketika itu sempat terkejut dengan data kerusakan lingkungan yang disampaikan, dikiranya dilakukan rakyat ternyata dilakukan perusahaan.
Direncanakan akhir tahun 2021, Presiden Jokowi akan berkunjung ke Toba untuk ikut menanami kembali lahan yang telah gundul bersama masyarakat adat. Tetapi aksi ini nantinya sesungguhnya tidak cukup, sebab jika perusahaan masih tetap beroperasi menu utamanya adalah akan terus menebangi hutan serta konflik tidak berkesudahan dengan pemilik tanah ulayat, yaitu masyarakat adat.
Semakin cepat pemerintah berani mengambil keputusan konkret, mengatasi kerusakan lingkungan di Kawasan Danau Toba, semakin kecil biaya yang dibutuhkan untuk memulihkannya. Sebaliknya jika menunda, semakin tinggi biaya yang ditanggung dan semakin lama penderitaan masyarakat yang tinggal di kawasan ini.
Sekuritisasi
Dalam teori sekuritisasi, isu-isu politik dianggap menjadi isu keamanan yang ekstrim dan harus segera ditangani karena bersifat mengancam, mengkhawatirkan eksistensi sebuah objek yang terancam (Clara, 2017). Objek di sini dapat berupa komunitas masyarakat di suatu kawasan, sektor lingkungan, sektor ekonomi, identitas dan budaya suku bangsa. Kerusakan ekosistem kaldera Danau Toba yang masih berlangsung hingga kini, itu merupakan ancaman eksistensial terhadap objek situs taman bumi UNESCO dengan keberlangsungan kehidupan manusia, geologi, hayati dan budaya suku Batak di dalamnya.
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dalam buku Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama Terhadap Lingkungan Danau Toba (YPDT, 1999), telah menyatakan Danau Toba kini adalah sebuah situs dunia yang sedang merana dan terancam. Kehadiran PT IIU yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) ternyata sangat berdampak negatif terhadap mutu lingkungan di sekitar Danau Toba.
Itu sebabnya, Presiden BJ. Habibie Tahun 1999, akhirnya menghentikan operasi kehutanan dan pabrik PT IIU. Namun hanya bersifat sementara. PT TPL dengan slogan paradigma baru dibuka kembali Tahun 2003. Sehingga masalah yang sama terus berlanjut hingga kini.
YPDT dan organisasi non-pemerintah lainnya bersama komunitas masyarakat adat, tidak pernah berhenti menyuarakan kepada pemerintah agar operasi PT TPL dihentikan permanen dari wilayah bumi Tapanuli. Warga Tapanuli sudah cukup lama merindukan hal ini; adanya ketenangan, keasrian dan kedamaian hidup bersahabat dengan alam Toba.
Mengutip pernyataan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo bahwa PT TPL sangat sedikit manfaatnya bagi negara dan masyarakat. Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Dengan demikian, Kawasan Danau Toba ini harus menjadi objek sekuritisasi negara. Negara harus segera hadir untuk melindungi dan mengamankan. Kerusakan lingkungan Kawasan Strategis Nasional Danau Toba pada gilirannya akan menjadi ancaman nasional yang lebih serius ke depannya. Proyeksi destinasi superprioritas nasional dan internasional juga akan terancam gagal, jika kerusakan lingkungan tidak segera diatasi.
Agenda lain dalam rangka sekuritisasi Danau Toba adalah masalah Keramba Jaring Apung (KJA). Hal ini juga merupakan ancaman yang tidak kalah mendesak untuk segera dihentikan pemerintah. Sudah berulangkali pemerintah menyampaikan di media akan segera menertibkan dan membersihkan perairan Danau Toba dari KJA. Namun belum terealisasi hingga saat ini.
Negara tidak boleh ‘kalah’ terhadap korporasi, yang menurut laporan penelitian terakhir dari Bank Dunia, KJA adalah yang paling berkontribusi mencemari Danau Toba. Sebagai reservoar air tawar segar terbesar di Asia Tenggara, perairan Danau Toba bukanlah untuk usaha peternakan ikan, melainkan sumber air bersih bagi kehidupan di sekitarnya. Karenanya, pemerintah juga harus segera mencabut ijin perusahaan-perusahaan yang memiliki KJA di Danau Toba.
Akhirnya, refleksi semangat COP26 mengurangi emisi karbon ingin kita wujud nyatakan dari kaldera Danau Toba untuk dunia. Hanya aksi nyata menghentikan kerusakan lingkungan, COP26 menjadi sangat bermakna mengatasi pelbagai badai perubahan iklim ke depan. Salah satu aksi nyata yang dinantikan, itu adalah tindakan tegas pemerintah menghentikan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan-perusahaan di Kawasan Danau Toba.
====
Penulis Staf Pengajar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]