Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BAGAIMANA pembelajaran bisa mengakomodasi keberagaman? Pertanyaan ini perlu dijawab dan dielaborasi lebih mendalam karena secara alami, ruang kelas sangat beragam.
Beragam tidak saja dari segi kemampuan, tetapi juga dari minat dan kemauan. Sebab, sekolah yang baik adalah sekolah yang menerima keberagaman.
Dalam hal ini, keberagaman siswa harus diakomodasi. Caranya adalah dengan menghadirkan metode pembelajaran diferensial. Bagaimana maksudnya metode diferensial?
Mari dimulai dari sebuah perumpamaan. Konon, di sebuah hutan, majelis hewan berencana membuat sekolah pada anak-anak hewan. Semua anak-anak hewan antusias atas ide itu.
Saya akan berlari, kata anak harimau dengan sangat ceria. Saya akan berenang, ujar anak bebek. Saya akan melompat dari kayu ke kayu, anak monyet tak mau kelewatan. Saya akan terbang, seru anak elang. Saya akan melilit, sebut anak ular.
Semua anak hewan terlihat sangat antusias untuk belajar. Bagi mereka, bersekolah berarti mengembangkan bakat alami.
Akhirnya, terbentuklah sekolah itu. Namun, pada prosesnya, guru pilihan majelis hewan mulai kewalahan. Peserta didik terlalu amat beragam dengan kesukaan serta kelebihan masing-masing.
Guru-guru rupanya merasa tak bisa mengakomodasi semua kelebihan anak-anak hewan tersebut. Maka, para guru pun mengadakan rapat.
Dibuatlah berbagai keputusan untuk mengakomodasi semua bakat itu. Intinya, semua siswa harus terakomodasi dalam persekolahan. Maka, dibentuklah kurikulum dengan mata pelajaran berlari, berenang, melompat, terbang, melilit sebagai mata pelajaran pokok.
Tidak Kontekstual
Standar-standarnya ditetapkan supaya kualitas dapat diukur. Metode-netode minimal dilatih kepada para guru agar semua siswa mendapat pengetahuan secara berkeadilan.
Intinya, tujuan pembelajaran ini pun mulia. Semua mata pelajaran ini, misalnya, dilakukan agar anak harimau tidak hanya bisa berlari, tetapi juga terbang; agar anak bebek tidak hanya bisa berenang, tetapi juga berlari; agar anak monyet tidak hanya terampil memanjat, tetapi juga terbang, dan sebagainya.
Terlihat pendidikan bentukan majelis hewan itu mengakomodasi semua bakat anak-anak. Tetapi, sungguhkah demikian?
Pada pelajaran hari pertama, yaitu berlari, semula semua antusias, terutama harimau. Namun, lama-lama, anak harimau mulai kebanyakan main-main karena bosan.
Baginya, sekolah tidak perlu lama-lama berlari. Sebaliknya, bebek main-main. Bebek asyik berenang. Guru pun marah. Guru memaksa bebek harus berlari. Karena tujuan pembelajaran, bebek memang harus dipaksa berlari dan terus berlari.
Bebek kelelahan. Maka, ketika tiba pada mata pelajaran berenang, bebek itu sudah kehabisan tenaga. Bebek tak mendapatkan nilai maksimal. Malah, hampir tenggelam. Bebek itu pun mendapat nilai pas-pasan pada mata pelajaran kesukaannya.
Demikian juga dengan harimau. Harimau kelelahan belajar terbang sehingga mendapat nilai pas-pasan pada berlari. Sesungguhnya, kurang lebih begitulah persekolahan kita.
Ilustrasi inilah yang paling tepat menggambarkan mengapa kanak-kanak dulu sangat antusias ke sekolah sebelum akhirnya malas, bahkan trauma.
Sekolah yang sebelumnya bagi mereka adalah tempat bermain dan menyalurkan hobi ternyata berubah menjadi seperti tempat penyiksaan. Ada banyak target yang harus dicapai. Apakah guru salah? Tentu saja tidak. Guru hanya pelaksana kurikulum.
Ibaratnya, guru hanya melaksanakan tugasnya dalam menyanggupi tuntutan kurikulum. Dan, pada dasarnya, guru pun tetap merasa tersiksa serta tak enak hati membelajarkan siswa-siswanya.
Untuk apa, misalnya, mengajarkan mereka fisika jika tujuannya menjadi sastrawan belaka? Tetapi, kurikulum bertitah demikian, maka pembelajaran harus dilakukan.
Jika saja belajar fisika sebatas pengayaan, murid tentu senang. Namun, ternyata mereka harus mengerjakan soal-soal fisika yang sulit bahkan ketika mereka hanya bercita-cita sebagai perawat di rumah sakit.
Artinya, pembelajaran mereka tidak kontekstual. Sebab, nyata bahwa skema belajar kita beraroma memaksa semua siswa untuk tidak sekadar tahu, tetapi cenderung supaya menjadi ahli.
Maka, jadilah mereka seperti bebek yang kalah berenang setelah terus belajar berlari. Bakat alami mereka terabaikan hingga tergerus.
Pendidikan kita tak fokus pada keahlian dan minatnya. Malah, atas nama banyaknya mata pelajaran, siswa diminta untuk menjadi siswa biasa-biasa pada semua mata pelajaran daripada ahli pada satu pelajaran.
Sungguh tidak sinkron. Sebab, di lapangan, siswa diharapkan menjadi spesialis, bukan generalis.
Nah, skema pendidikan seperti inilah yang kiranya harus diubah. Sekolah sudah harus diberi keleluasaan untuk tahu mengajar mana kebutuhan hidup, mana pula sebatas pengetahuan.
Lebih mendetail, menurut Carol Ann Tomlinson dan kawan-kawan dalam How to Differentiate Instruction in Academically Diverse Classrooms (2017), setiap guru sudah harus dituntut untuk bisa mengakomodasi semua bakat siswa hanya dengan sekali jalan.
Maksudnya, setiap guru harus mengakomodasi kecenderungan cara belajar siswa semata agar bakat utamanya.
Tempat Suka Cita
Sebagaimana diketahui, seperti ditegaskan Bobby de Porter dalam Quantum Teaching, kecenderungan cara belajar siswa memang beragam. Ada siswa yang lebih menangkap dengan cara visual, ada dengan auditorial, bahkan kinestetik.
Itu artinya bahwa seorang guru tidak cukup berceramah. Metode ceramah mungkin sangat menarik bagi tipe auditorial. Namun, akan sangat membosankan bagi siswa dengan kecenderungan belajar visual dan kinestetik.
Lagipula, metode ceramah juga tidak akan maksimal bagi pembelajar auditorial. Sebab, meski auditorial murni, ternyata ia tetap membutuhkan pengetahuan dengan cara visual dan kinestetik.
Artinya, seorang guru harus mengakomodasi semua kecenderungan cara belajar siswa. Malah kemudian, jika harus lebih terperinci, seorang guru harus menerapkan metode pembelajaran diferensial tidak saja dari konten, tetapi juga dalam proses hingga produknya.
Dengan metode penghargaan pada perbedaan seperti itu, niscaya siswa akan lebih cepat menangkap materi. Tentu, ini tak mudah dilakukan sehingga guru harus melakukan asesmen.
Namun, tidak mudah tak berarti mustahil. Pada intinya saya ingin mengatakan, setiap siswa umunya bahagia ke sekolah. Itu karena sekolah dianggap tempat suka cita.
====
Penulis Guru SMP Negeri 2 Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]
+62 852-9792-0334