Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
INDONESIA adalah negara yang kaya akan keberagaman. Mulai dari suku, agama, ras, kepercayaan, dan adat istiadat. Berdasarkan data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 yang dimuat di Indonesia.go.id (Minggu, 3/12/2017), terdapat sebanyak 1.340 suku bangsa di Indonesia. Selanjutnya berdasarkan data yang dikutip dari dataindonesia.id, terdapat 2.161 komunitas adat di Indonesia.
Agama dan kepercayaan pun sangat beragam di Indonesia. Selain enam agama resmi yang diakui pemerintah, terdapat 187 kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia (kemdikbud.go.id, 11/11/2017). Di antaranya Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten), agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Buhun (Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Sumatera Utara), Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Tolottang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), Naurus (pulau Seram, Maluku), Marapu (Sumba).
Berangkat dari data yang ada, maka dapat dipastikan bahwa perbedaaan (keberagaman) menjadi fakta yang lumrah ditemui dalam denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta inilah yang menegaskan bahwa wajah Indonesia adalah wajah keberagaman serta tumbuh dan berkembang dari keberagaman.
Di masa perjuangan, keberagaman ini sejatinya sebagai kekuatan bagi para pejuang kemerdekaan untuk melawan penjajah. Artinya, keberagaman Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa dan kekayaan luar biasa yang tidak semua bangsa di dunia yang memilikinya. Karena itulah, keberagaman adalah warisan tak ternilai yang harus dirawat keberadaannya.
Praktik Intoleran di Lingkungan Pendidikan
Indonesia adalah negara yang beragam. Tapi, tak dapat dipungkiri masih banyak terjadi praktik intoleran yang tidak mendukung keberagaman. Salah satunya terjadi di lingkungan pendidikan baik di sekolah maupun perguruan tinggi.
Hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Convey tentang sikap intoleransi di sekolah, dengan responden para guru dan pelajar gen Z (lahir dari pertengahan 1990-an sampai awal 2010) dimuat di tirto.id (29 November 2020) menyebutkan, sekitar 87 persen guru dan dosen, serta 86 persen siswa dan mahasiswa, setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Selain itu, 33 persen setuju bahwa tindakan intoleran terhadap minoritas bukanlah masalah.
Hasil survei di atas adalah gambaran kecil terkait praktik intoleransi di Indonesia. Tapi sebenarnya, jika dikaji secara mendalam, ada banyak praktik intoleransi yang terjadi di lingan pendidikan. Tak hanya menyangkut kelompok suku, agama, ras, dan golongan tertentu saja.
Praktik intoleran yang kerap terjadi di lingkungan pendidikan diantaranya: mendiskriminasi siswa/mahasiswa dari kelompok yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan pendidikan atau tidak menghargai siswa/mahasiswa yang berbeda suku.
Penulis melihat cukup banyak mahasiswa yang menjadikan adat istiadat sebagai bahan lelucon. Misalnya, perempuan Batak yang memiliki adat pernikahan dengan sistem sinamot (mahar), tapi bagi perempuan dari etnis lain sistem itu dinilai seperti memperjualbelikan perempuan Batak.
Hal kerap dijadikan sebagai bahan humor. Praktik ini terdengar sangat sepele, namun cukup berbahaya karena terjadi di lingkungan pendidikan.
Pemicu dari praktik intoleran di lingkungan pendidikan cukup beragam. Selain beranggapan kalau apa yang dia anut yang paling benar, kebiasaan siswa/mahasiswa yang cenderung berinteraksi hanya sesama golongannya saja juga menjadi pemicu.
Merawat Keberagaman
Lingkungan pendidikan adalah tempat di mana generasi muda dapat menimba ilmu dan menjalin persaudaraan tanpa harus terciderai dengan praktik intoleransi.
Generasi muda merupakan penerus bangsa Indonesia. Karena itu dibutuhkan langkah nyata agar generasi muda dapat merawat keberagaman Indonesia.
Pemerintah melalui Kemdikbud pun sudah melakukan upaya ini melalui berbagai program. Salah satunya adalah Kampus Merdeka. Kampus Merdeka adalah program yang memberikan hak yang luas bagi mahasiwa unutuk melatih kemampuan, minat dan bakat dengan terjun langsung ke lapangan.
Kampus Merdeka memiliki sembilan program, yakni Magang Bersertifikat, Studi Independen, Kampus Mengajar, Indonesia International Mobility Awards (IISMA), Pertukaran Mahasiwa Merdeka (PMM), Membangun Desa (KKN Tematik), Proyek Kemanusiaan, Riset atau Penelitian, dan Wirausaha.
Salah satu program yang memungkinkan mahasiswa melakukan praktik-praktik yang mendukung keberagaman adalah Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM).
Penulis merupakan mahasiswa peserta program PMM angkatan ke-2 tahun 2022. Kampus asal penulis adalah Universitas Katolik Santo Thomas Medan dan kampus penerima Universitas Mahasarwati Denpasar.
PMM merupakan kegiatan yang memberikan fasilitas kepada mahasiwa untuk belajar di luar kampus asal selama satu semester. Inti dari program ini adalah pengenalan budaya Indonesia oleh mahasiswa secara langsung dengan mengikuti kegiatan Modul Nusantara di PMM.
Pada kegiatan Modul Nusantara, penulis berkesempatan mengikuti kegiatan kebinnekaan, inspirasi, refleksi, dan kontribusi sosial yang dilaksakan secara rutin setiap minggu selama mengikuti Kampus Merdeka (PMM) di kampus penerima.
Penulis berpendapat, program Kampus Merdeka (PMM) sangat bagus untuk merawat keberagaman di Indonesia yang hadir melalui kegiatan Modul Nusantara.
Selama mengikuti Kampus Merdeka (PMM), penulis mendapatkan pengalaman tentang Bali dari sisi adat istiadat, agama, intonasi berbicara, cara berpakaian, cara pandang, dan merawat tempat tinggal. Hal ini berbeda dibandingkan apa yang dianut oleh penulis.
Perbedaan yang sangat terlihat adalah intonasi berbicara. Di Medan tarikan suaranya lebih tingi sehingga terdengar keras, sedangkan masyarakat Bali berbicara dengan intonasi yang lebih rendah dan terdengar lembut.
Melalui PMM penulis dapat belajar budaya Bali secara langsung yang sebelumnya hanya dilihat di internet dan televisi. Misalnya mengunjungi Pura (tepat ibadah agama Hindu), toleransi beragama, belajar tari Bali, mengunjungi berbagai desa adat dan desa wisata di Bali.
Selain merasakan langsung budaya lokal di kampus penerima, penulis juga dapat merasakan bagaimana interaksi dengan sesama peserta program dari Sabang hingga Merauke.
Di sinilah jiwa sosial sebagai warga negara Indonesia diasah dengan menghargai keberagama yang adam namun dipersatukan oleh semangat Bhineka Tunggal Ika.
Di tengah ancaman perpecahan yang tak pernah putus, bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi praktik-praktik intoleransi. Karena itulah diperlukan kesadaran dan komitmen bersama untuk saling menghargai keberagaman. Selain itu, berbagai program yang merawat keberagaman harus terus dipertahankan.
Terkait progam Kampus Merdeka, yakni PMM, penulis memberi catatan, bahwa program ini sangat bermanfaat untuk merawat keberagaman di kalangan mahasiswa. Penulis menyarankan agar perguruan tinggi dapat mendukung penuh program ini dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran mahasiswa dalam merawat keberagaman Indonesia.
Penulis juga memberi masukan agar alumni Kampus Merdeka (PMM) Angkatan ke-1 dan 2 dapat mengimplementasikan nilai-nilai toleransi di luar program pemerintah. Misalnya melaksanakan kegiatan kolaborasi anak muda lintas agama, live in (hidup bersama agama yang berbeda pada kurun waktu tertentu), serta melakukan kegiatan solidaritas pemuda lintas agama, suku, dan budaya.
Harus diingat, Indonesia adalah keberagaman. Takdir Tuhan untuk Indonesia adalah keberagaman dari Sabang hingga Merauke. Berbagai suku, agama, adat istiadat, kepercayaan dan golongan sudah seharusnya menjadi kekuatan bagi seluruh elemen bangsa untuk menjadikan Indonesia semakin maju.
====
Penulis mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Santo Thomas Medan, peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka Angkatan ke-2, dan aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Komunitas Menulis Mahasiswa Veritas.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]