Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BICARA mengenai bulan Agustus memang terasa sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Agustus sejatinya memang identik dengan suasana kemerdekaan. Bagaimana tidak, 17 Agustus merupakan tanggal yang diperingati sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia.
Jadi tidak heran jika bulan Agustus selalu dikenang menjadi bulan yang meningkatkan rasa nasionalisme bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbagai perayaan pun disuguhkan untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Namun, sebenarnya di bulan ini ada satu sejarah lain yang setidaknya harus diketahui terutama untuk kaum pemuda masa kini. Sebagai mana ada istilah Jas Merah atau “Jangan Sesekali Melupakan Sejarah”, seperti itulah maksud dan tujuan penulis menulis naskah ini.
Sejarah yang penulis maksud yakni mengenai Piagam Jakarta yang mana pada 18 Agustus 1945 setidaknya ada 7 (tujuh) kata yang dihapus kala itu. Tujuh kata yang dimaksud adalah bagian dari cikal bakal terbentuknya sila pertama dasar negara Indonesia.
BACA JUGA: Sinkronisasi Pembangunan Menuju Indonesia Maju
Sebelumnya Piagam Jakarta sendiri sudah dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disahkan pada 22 Juni 1945. Pada awalnya bunyi sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebelum direvisi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh para pendiri bangsa ini pada 18 Agustus 1945.
Adapun alasan yang paling populer mengenai perubahan sila pertama tersebut yakni kalimat yang terkesan tidak nasionalis. Sedangkan Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, agama dan golongan. Sehingga sila pertama versi Piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945 dinilai harus diubah.
Selain itu, alasan lainnya yang juga cukup sering didengar, yakni sila pertama versi Piagam Jakarta mendapati banyak penolakan dari tokoh nonmuslim dari Indonesia timur.
Perubahaan tersebut juga bukan berarti berjalan dengan mulus begitu saja. Tokoh muslim seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh yang dikenal sebagai Pimpinan Muhammadiyah saat itu dan merupakan anggota Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang cukup keras menentang perubahan sila pertama tersebut. Sebelum pada akhirnya beliau pun menyetujui hal tersebut setelah rapat nonformal dengan Soekarno-Hatta dan beberapa tokoh lainnya.
BACA JUGA: 78 Tahun Kemerdekaan, Bonus Demografi dan Kemiskinan
Peristiwa-peristiwa seperti ini saat ini sudah mulai hilang dari ingatan. Bukan karena sejarah yang ditutupi, tapi bisa saja karena kajian-kajian sejarah seperti ini sangat jarang ditemui.
Terlebih tidak bisa dipungkiri, kembali Agustus hanya dikenang sebagai hari lahir dan kemerdekaannya bangsa Indoesia. Padahal ini merupakan sejarah penting yang seharusnya harus dikenang dan setidaknya harus diketahui oleh para pemuda saat ini.
Sementara ada nilai-nilai yang bisa diambil dari sejarah tersebut dan bisa dijadikan acuan untuk melawan pemikiran-pemikiran modern saat ini. Sebut saja saat ini banyak kita temui perkataan dan anggapan bahwa umat muslim dicap sebagai bagian yang intoleran.
Bagaimana mungkin bisa dikatakan umat Muslim sebagai bagian intoleran, jika sejarah saja berkisah kalau umat Muslim pernah merelakan 7 (tujuh) kata dari sila pertama versi Piagam Jakarta dihapus untuk selama-lamanya demi menjunjung nilai-nilai toleransi terhadap keberagaman di negeri ini.
Para pemuda saat ini harus lebih melek dan tidak amnesia mengenai sejarah-sejarah yang terjadi di negeri ini. Belajar dan memperbanyak literasi mengenai sejarah bukan sekedar untuk memupuk ingatan, tapi juga untuk lebih memahami arti perjuangan para pendahulu dan agar hal-hal yang buruk tidak terjadi lagi di saat ini.
Dari peristiwa penghapusan 7 (tujuh) kata pada piagam jakarta ini juga sebenarnya memuncul perdebatan-perdebatan lain yang kita yakini tidak banyak pemuda yang sadar akan hal itu.
BACA JUGA: HUT ke-77 RI dan Momentum Kebangkitan Semangat Nasionalisme
Sebagaimana yang dikisahkan di atas, Pancasila yang kita pakai saat ini merupakan Pancasila dengan frasa yang sudah direvisi dari Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945.
Bersamaan dengan hal itu secara sadar seharusnya hari lahir Pancasila jatuh dan diperingati setiap 18 Agustus, namun mengapa sampai saat ini kita selalu memperingati hari lahir Pancasila pada 1 Juni?
Memang sejarah berbicara tanggal itu sesuai dengan momen sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Namun jika kita memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni bukankah seharusnya sila pertama tidak perlu direvisi. Hal-hal seperti ini juga seharusnya bisa ditanggapi oleh para pemuda masa kini.
Namun, terlepas dari hal itu, penulis bermaksud hanya ingin membuka kembali ingatan-ingatan sejarah yang sudah mulai pudar saat ini. Banyak hal yang bisa diambil dari sejarah negeri ini.
Sebagai mana tema HUT RI tahun ini “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”, sudah seharusnya kita maju sejak dalam pemikiran. Dirgahayu NKRI yang ke-78, dirgahayu negeriku!
====
Penulis Mahasiswa FISIP UMSU, Pemimpin Umum LPM Teropong UMSU
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]