Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SAAT pemerintah mau mengambilalih penuh PT Inalum sewaktu kontrak dengan Jepang hampir berakhir di penghujung 2013 selalu terdengar pertanyaan: apakah perusahaan itu menjadi lebih baik atau justru sebaliknya nanti? Tapi alasan nasionalisme membuat banyak kalangan tak peduli dengan jawabannya, yang penting take-over dulu perusahaan itu. Persoalan lain belakangan saja. Eh, sekarang di Sumatera Utara mulai muncul jawaban atas pertanyaan itu: agaknya Inalum lebih baik saat dikelola oleh konsorsium perusahaan Jepang.
Pengakuan itu semakin sering digumamkan orang Sumut belakangan ini. Pemicunya pengelola Inalum bersikeras menolak membayar tagihan pajak Air Permukaan Umum (APU) dari Pemerintah Provinsi Sumut sebesar Rp477, 663 miliar untuk periode November 2013 – September 2014. Mereka hanya mau membayar Rp32 miliar saja berdasarkan penghitungan yang ditafsirkan sendiri dari metode penghitungan pajak dalam Peraturan Gubernur Sumut Nomor 24 tahun 2011, yaitu pajak produksi listrik dari penggunaan air Danau Toba sekira Rp75/kwh. Maka mereka beranggapan pajak APU yang wajib dibayar Inalum hanya hanya Rp32 miliar karena produksi listrik dari pembangkit Sigura-gura hanya 3,86 miliar kwh dalam masa periode tagihan tersebut.
Ya, memang dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Gubernur Sumut tentang Tata Cara Penghitungan Nilai Perolehan Air itu disebutkan khusus penetapan harga dasar air untuk pemanfaatan pembangkit listrik Rp75/kwh. Tetapi tarif itu hanya untuk listrik yang dihasilkan guna kepentingan umum, sedang untuk industri dan perumahan ditetapkan lebih tinggi sesuai Perda Nomor 1 tahun 2011 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang menjadi acuan Pergub Nomor 24 tahun 2011 tersebut.
Karena itu, menurut perhitungan Pemprovsu melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Sumut tagihan pajak APU Inalum mencapai Rp477,663 miliar. Soalnya, listrik perusahaan yang kini sudah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut hanya sedikit dijual ke PLN untuk kepentingan umum, lebih banyak digunakan untuk (industri) peleburan aluminium dan pemukiman kompleks karyawan Inalum sendiri, yang dayanya masuk golongan komersial.
Ah, kalau Inalum mengacu aturan main tersebut pasti perbedaan perhitungan tak akan terjadi. Konon pula, Inalum sudah sepenuhnya milik Indonesia, jadi sepatutnya memberi kontribusi maksimal bagi Sumut yang telah merelakan sumber daya alamnya dieksploitasi oleh perusahaan itu. Toh, semasa dalam penguasaan Jepang saja perusahaan itu memberikan annual fee sebesar Rp75 miliar per tahun untuk Sumut, maka tak patut rasanya setelah menjadi BUMN kontribusinya justru menurun tinggal Rp32 miliar saja dalam bentu pajak APU. Namun jika Inalum tetap bersikeras juga, mungkin tak ada salahnya perusahaan itu ditawarkan saja kembali ke Jepang. Pihak Negara Matahari Terbit itu agaknya lebih menghargai Sumut sebagai pemilik Danau Toba dan lokasi perusahaan, ketimbang pengelola saat ini.